CERPEN - CERPEN KARYA BBILOVERS!
- Kau yang Kurindukan -
Hampir setiap orang yang hadir
disana bergantian memandang Za. Mereka yang menangkap sosok gadis itu pastilah
menyempatkan diri sejenak minimal sekedar untuk memandang lekat kearah
wajahnya. Mereka mengamati dengan dahi berkerut dan diam-diam menyimpan rasa
penasaran atas ekspresi wajah gadis itu. Atau tak jarang mereka akan
berbisik-bisik dengan orang lain di kanan kirinya, menanyakan siapa gadis itu
dan mengapa ia terus tersenyum? mereka merasa heran melihat Za tak pernah
menanggalkan sunggingan di bibirnya itu. Terus, dan tetap tersenyum, dalam
diam. Padahal pada saat itu tak ada seorangpun yang sedang bertingkah lucu
menghibur gadis itu. Tak ada juga sesuatu yang lucu di sekitarnya. Bahkan
lebih tepatnya, tak ada seorangpun yang mengajak gadis itu bicara. Namun, Za
tak pernah sekalipun berhasrat untuk menarik senyum terkulum dari bibirnya itu.
Za menatap sosok itu lekat-lekat,
sementara orang-orang di sekitarnya memandang dirinya dengan penuh tanda tanya.
Ia memandanginya seolah tak ingin waktunya sedetikpun terbuang sia-sia. Waktu
yang tak akan pernah ia lupakan seumur hidupnya, dan akan terus ia kenang dan
ia rindukan. Menatap setiap detail dalam sosok itu. Dengan senyum…..dalam
diam…..dalam tangis bisu…
---------------------------
Ia mencoba menelusur kearah titik
yang dipandang oleh laki-laki yang sedang tersenyum itu. Rasa penasaran
membuatnya ingin tau apa yang sejak tadi menarik perhatian orang itu sehingga
tak sedikitpun mengalihkan perhatiannya dari sana , terus memandang dengan senyum yang
membuat wajah itu tampak begitu manis.
Gadis itu diam tertegun. Telusur
matanya terhenti pada tembok putih tanpa ornament atau hiasan apapun. Ia
bingung memandangi tembok itu. Berpikir. Mencetak lipatan-lipatan halus di
kening.
Inikah yang sejak tadi menarik
perhatian orang itu?
Ia kembali menatap mata itu, wajah
itu. Mata yang terus memandang tembok itu dan wajah yang teduh dengan senyum
yang tak sedikitpun surut. Sekali lagi ia mengamati tembok itu. Memastikan
sekali lagi memang benar fokus yang ia pandang sama dengan yang dipandang oleh
orang itu. Namun, seperti apapun ia memfokuskan pandangannya, tetaplah ia tak
menemukan sesuatu hal menarik yang mungkin bisa membuat seseorang tersenyum
ketika memandang tembok polos tersebut. Lipatan di dahinya semakin
bertumpuk-tumpuk dengan kebingungan yang semakin menjadi.
Kembali ia memandang wajah itu. Tak
berubah. Manis. Tetap seperti sedia kala. Dengan senyum, dalam diam….
-----------------------------
Detikan jarum jam terdengar seolah
menggema di ruangan yang luas itu. Baru jam 9 tetapi suasana seolah seperti
lewat tengah malam. Tak ada suara TV, dan tak ada suara berisik Harrimand yang
biasanya selalu menggemakan musik bervolume besar dari dalam kamarnya jika
sedang nge dance atau bernyanyi tidak jelas. Atau tak ada gaduh adu mulut
antara Za dan kakaknya itu kalau Za mulai mengambil alih kuasa atas remote TV
yang sejak setelah isya’ pasti berada di bawah tawanan Harrimand.
Za berdiri termangu di depan rak
kaca yang berdiri angkuh membelakangi tembok. Memandangi deretan belasan
bingkai-bingkai beraneka bentuk yang berisi wajah-wajah berbagai ekspresi.
Pandangannya tertumpu pada salah satu bingkai sederhana berwarna coklat
berserat seperti batang pohon yang berpadu di antara figura-figura lainnya.
Ia baru saja kembali dari dapur
setelah meletakkan cangkir bekas susu coklat hangat di tempat cuci piring.
Perlahan langkahnya yang semula cepat karena ingin segera beranjak tidur sontak
melambat saat sudut matanya menyapu rak kaca yang ia lewati itu. Dan akhirnya
menghentikan langkahnya tepat saat pandangannya terhenti pada sebuah bingkai
yang sekarang ia pandangi lekat-lekat.
Tangan Za perlahan menggeser pintu
kaca yang melindungi deretan-deretan bingkai foto itu. Memberikan sedikit ruang
bagi tangannya untuk masuk dan meraih salah satu figura yang dipandangnya sejak
tadi. Za berdiri tertunduk memandangi wajah-wajah yang terpetakan jelas dalam
figura di tangannya.
“Kak….cepet pulang….”
Cairan di pelupuk itu mulai
menggenang. Melihat mata belo Harrimand membulat bersama cengiran di foto itu
membuat rasa kesepian Za yang ditinggal sendirian di kontrakan besar itu untuk
5 hari karena show di luar kota
mendadak membuncah. Ia mengelus-elus peta wajah kakaknya dengan telunjuk
kirinya. Tidak adanya Harrimand di rumah memberikan efek yang cukup besar bagi
dirinya. Tak bisa mendengar ocehan kakaknya yang berisik tapi bisa membuat
dirinya tak merasa kesepian. Tak bisa mendengar saran atau nasihat konyol
menanggapi curhatannya tapi bisa membuatnya tertawa lepas bahkan saat matanya
menangis. Tak bisa melihat kelakukan-kelakuan usil kakaknya yang menjengkelkan
tapi sekarang sangat ia rindukan. Terlebih disaat ia sedang terpuruk dalam
masalah seperti sekarang.
Sontak gerak telunjuknya terhenti
saat pandangannya bergeser pada sosok di sebelah Harrimand. Dua orang yang
saling berangkulan. Mengacungkan ibu jari tangan masing-masing dan tersenyum
lebar pada kamera.
Za mulai terisak. Tak bisa ia
bayangkan seperti apa tour 3 kota
yang sedang mereka lalui selama 5 hari ini. Bodoh jika ia dengan polosnya
membayangkan mereka baik-baik saja seperti biasanya. Bertanya-tanya dalam hati
sendiri apakah dia yang telah menghancurkan semuanya. Apakah dia penyebab
rusaknya hubungan persahabatan mereka.
Tapi, mungkin bukan hanya rasa
bersalah yang mengundang tangisnya. Perasaan sakit hati dan penyesalan karena
pada akhirnya ia benar-benar harus kehilangan Icha turut andil dalam mengundang
lelehan yang menganak sungai di pipinya itu. Laki-laki yang sangat ia cintai
itu bahkan sudah tak mau lagi bertatapan mata dengannya. Ia selalu menghindar
seolah merasa muak dengan kehadirannya. Membuat hati yang masih dipeluk erat
oleh cinta itu sekarang justru merasa sesak karena terhimpit oleh perasaan
cinta yang memeluknya.
“Kak…..”
Badan Za melorot turun. Tertahan ia
berbisik menahan perasaan yang begitu kalut. Za duduk berjongkok menatap lantai
memeluk bingkai foto yang memancing tangisnya itu. Ia merindukannya.
Merindukannya….sangat merindukannya…
Tiba-tiba sekelebat bayangan
terlintas di otaknya. Membuat Za seolah tersengat oleh listrik yang kontan
menyadarkan dirinya akan sesuatu. Za tertegun menatap kosong. Menyadari sekilas
pertanyaan yang baru saja mampir di pikirannya.
Merindukannya?
Za mendengungkan kembali pertanyaan
itu. Lalu mencoba menjawabnya. Lama….
Merindukannya?
Siapa yang dirindukannya?
Za menatap kembali bingkai foto di
tangannya. Mengamati kembali dua orang yang saling berangkulan itu. Menyadari
kejanggalan di otaknya, di pikirannya, di hatinya.
Siapa yang dirindukannya?
Sekali lagi Za menatap lekat dua
orang yang saling berangkulan itu. Menatap senyum mereka masing-masing. Senyum
yang tak bisa ia temukan lagi untuk saat ini. Bergantian dua wajah itu berlalu
lalang di pelupuk mata gadis itu.
Siapa yang dirindukannya?
Icha? Seseorang yang
dicintainya sejak dua tahun terakhir? Yang menjadi tag “in relationship with”
di fbnya selama satu setengah tahun belakangan? Yang membuat kelopak matanya
membengkak setelah menangis semalaman usai menyadari mereka tak mungkin bersama
lagi?
Atau….
Alam? Yang selalu melingkupi
hari-harinya dengan senyuman mendamaikan dan memanjakannya dengan tawa
keceriaan saat bersamanya? Yang selalu ada saat dia sedih dan tak pernah ia
lupakan saat ia senang? Orang yang membuatnya terdiam pasrah saat ciuman hangat
itu menyentuh bibirnya, menjadi asal-muasal perkelahian 5 hari yang lalu dan
menjadi salah satu penyebab utama kesendiriannya sekarang?
Siapa yang dirindukannya?
Za terpaku menatap wajah-wajah itu.
Matanya melebar. Tak lagi meneteskan bulir-bulir bening. Kini hanya tertegun
menyadari pertanyaan tanpa jawaban itu. Pertanyaan yang sepantasnya bisa ia
jawab dengan mudah, namun tanpa ia sangka justru menyadarkan bahwa ternyata
hatinya tak hanya terpaku pada satu orang. Hatinya mendua….
----------------------
Za masih berdiri kaku menghadapi
sosok yang juga terfokus menatap titik lain di kejauhan. Entah apa yang
dipandang oleh laki-laki itu, dan entah apa yang ia pikirkan. Rasa dingin mulai
menyergap kaki gadis itu setelah hampir 10 menit tampias air hujan
terpercik-percik membasahi bagian bawah celana jeans nya. 3 jengkal di sebelah
kanannya guyuran deras air menghantam tanah yang menyeruakkan bau khas musim
penghujan. Emperan sempit depan kios yang sudah tutup itu tak cukup membuat
badan mereka berdua sepenuhnya terlindungi.
Sepertinya sosok di depan Za masih
juga terdiam. Kalaupun dia berkata lirih pantaslah jika Za tak mendengar karena
deru hujan lebih berisik melingkupi mereka. Za juga tak tahu seperti apa
ekspresi wajah orang itu sekarang. Ia hanya terus tertunduk. Dalam. Za merasa
mungkin akan lebih baik jika ia berdiri di bawah hujan sekalian. Karena dengan
begitu guyuran air hujan akan mengaburkan jejak air mata di wajahnya.
Tak ada yang mau bersuara.
Masing-masing sama-sama kukuh dengan diamnya. Bahkan Za seolah tak ingin
menampakkan gerak diafragmanya saat bernafas. Begitupun dengan orang yang
memalingkan wajah di depannya itu. Ia bak patung buatan pemahat termasyur yang
berdiri angkuh di etalase pameran seni. Dingin, dan kaku.
Tangan Za terkepal menjawab hatinya
yang sejak tadi bertanya-tanya sampai kapan mereka harus terjebak dalam situasi
seperti ini. Perlahan Za menggeser bola matanya yang sejak tadi tertuju pada
ujung sepatunya sendiri yang basah dan dihiasi titik-titik kecoklatan karena
cipratan air hujan bercampur tanah.
Pandangannya mulai menelusur pelan.
Berawal dari ujung kaki sosok di depannya, terus merangkak naik, penuh
keragu-raguan. Menelisik dua kepalan tangan yang menahan amarah mempertontonkan
gurat otot-otot yang mengejang. Bergulir menyapu punggung yang bergetar naik
turun sisa-sisa baku
hantam barusan. Dan terhenti terpaku pada wajah yang terpaling dengan
rahang-rahang yang mengeras membekam luapan emosi. Mata Za kembali berkabut
tebal begitu pandangannya menangkap memar-memar kebiruan di sekeliling bercak
darah mengering yang tampak dari sudut bibir laki-laki di depannya.
Rasa panas di pipi Za terasa
semakin membara ditambah oleh lelehan hangat air matanya setelah menatap wajah
yang seolah jengah melihatnya itu. Bekas tamparan 20 menit yang lalu serasa
tiba-tiba kembali merangkak menelusup pori-pori kulitnya. Meruamkan rona merah
di pipinya, semerah matanya yang sudah tak kuasa menahan tangis.
Bukankah seharusnya dia marah?
Bukankah dia juga disakiti? Bukankah sosok di depannya itu pun sudah tega
memembuatnya menangis? Tapi kenapa hatinya seolah tak peduli lagi dengan semua
itu. Kenapa hatinya tidak marah? Kenapa hatinya tidak berontak? Kenapa ia hanya
diam membiarkan semua itu luruh dan terlupakan? Kenapa ia justru mengharapkan
orang di depannya memaafkan kesalahannya dan mau menatapnya kembali. Kenapa ia
begitu takut kehilangannya? Kenapa?
Dan kebekuan itupun terpecah
seketika saat Icha beranjak dari kediamannya. Tanpa berujar sepatah katapun ia
melangkah gamang melewati Za begitu saja, menembus guyuran dingin curahan
langit. Beranjak dari atap emperan yang meneduhi mereka. Menghilang dari
pandangan Za yang baru saja memberanikan diri menatapnya. Membuat mata Za yang
masih tertuju pada wajahnya sontak kehilangan obyek. Digantikan oleh udara
hampa yang berbauran bersama serdadu-serdadu air hujan.
Za memutar badannya mengarah pada
sosok yang baru saja meninggalkannya. Memandang punggung yang sudah semakin
menjauhi dirinya. Berdiri kaku bersiap terisak menyadari kata damai yang
ditunggunya hancur lebur bagai debu yang terbawa angin, terpisah jauh dan tak
mungkin lagi disatukan satu sama lain.
Gadis itu mulai terisak. Membungkam
mulutnya sendiri meredam suara memilukan mewakili jeritan hatinya yang untuk
mengatakan “jangan pergi” pun sudah tak sanggup. Terisak memandang tubuh yang
menghilang di balik rimbunnya air hujan dan kelok jalanan, pergi entah kemana
meninggalkan Za yang masih mencoba berdiri tegak.
Sosok itu sudah lama menghilang.
Meninggalkan Za yang masih menatap kosong ke kejauhan. Meninggalkan Harrimand
yang sejak tadi mencoba tetap berdiri di seberang jalan dan tidak ikut campur
dulu dengan urusan adiknya dan sahabatnya itu. Diam sembari menahan sedikit perih
akibat pukulan nyasar di pelipis kirinya saat berusaha menghadang baku hantam
antara dua sahabatnya.
Bergantian Alam memandang Za
yang terisak dan juga jalanan kosong yang baru saja dilalui Icha. Ia memandang
mereka sembari sesekali mengusap rembesan darah di ujung bibirnya yang pecah
karena hantaman kepalan punggung tangan Icha. Tangannya terkepal. Menyadari
bahwa dirinya adalah salah satu yang harus bertanggung jawab karena telah
merenggut senyum dari gadis yang dicintainya itu. Berandai-andai kalau saja
tempo hari dia tidak lancang mencium pacar sahabatnya itu, pastilah mungkin
akan ada jalan bagi mereka untuk saling memaafkan satu sama lain. Tidak perlu
membuat gadisnya bersedih seperti sekarang. Tangannya kuat terkepal. Menatap
gadis itu terisak memandangi jalanan kosong yang sudah ditinggal jauh oleh
MANTAN kekasihnya.
-----------------------------------
Jakarta 2 April 2009
Alam masih berdiri bersandar di
pohon palm besar itu. Ia tetap bertahan dalam posisi yang sama. Menyedekapkan
kedua tangan memandangi punggung gadis yang bergetar naik turun tak jauh di
depannya. Hanya memandang, sambil sesekali menendang-nendang pelan udara hampa
untuk mengusir rasa pegal di kakinya setelah bermenit-menit berdiri.
Bukannya mendekat dan menenangkan
gadis itu, tetapi ia lebih memilih membiarkannya melampiaskan rasa kesal,
sedih, kecewa dan marah dalam tumpahan air mata. Membiarkan gadis itu duduk
memeluk lutut dan membenamkan wajah dalam isakan yang mampu ia dengar dengan
jelas.
Ia mengerti pasti Za sedang ingin
menangis sepuasnya setelah apa yang ia lihat di café tadi. Kecewa karena pesan
yang seharian tidak dibalas, kesal karena telefon berkali-kali yang tidak
diangkat, kesal karena janji merayakan ulang tahun bersama pada akhirnya
diingkari, dan di atas segalanya, yang paling menyakitkan adalah kesal karena
dikhianati. Tepat di hari ulang tahunnya, entah sengaja atau tidak. Jangankan
kado istimewa yang ia dapat dari sang pacar, namun justru potret jelas yang
tertangkap langsung oleh matanya. Potret mesra orang yang dicintainya itu
bersama sahabatnya, Arum.
Za yang ketika itu tengah berjalan
bersama Harrimand dan kawan-kawan di sebuah mall tentu saja langsung berdiri
kaku karena tanpa sengaja sudut matanya menangkap bayangan kemesraan Icha
dengan perempuan lain yang tak lain adalah Arum, sahabatnya yang baru 3 jam
sebelumnya mengatakan maaf tidak bisa menemani merayakan ulang tahun karena harus
mengantarkan neneknya check up ke dokter.
Marah, pasti. Kesal, tentu. Wajah
Za yang memang sejak berangkat sudah tertekuk tujuh pun sontak berubah merah,
menahan tangis yang sesungguhnya sudah tak mungkin dibendung lagi. Secepat
kilat Za berpaling jengah dari pemandangan di kejauhan itu dan dengan emosi
meluap ia hendak melangkah pergi.
Alam hanya bisa pasrah saat
Za yang wajahnya sudah memerah padam tiba-tiba menggandeng tangannya dan
menariknya pergi dengan mata yang sudah basah. Meninggalkan Harrimand, Lucaz
dan Bagus yang tercengang bingung bergantian menatap dua pemandangan kontras
itu. Icha dan Arum yang begitu santai menikmati makan siang sembari
bercengkerama mesra, sementara di sisi lain Za terus melangkah sembari menutupi
separuh wajahnya dengan tangan agar tangisnya tak mengundang perhatian. Di
belakangnya, Alam terseok mengikuti langkah Za yang menariknya cepat.
Dan disinilah ia sekarang. Berdiri
hampir sejam di atas bukit kecil berdebu yang agak gersang ditumbuhi rumput
tipis dan diselingi beberapa pohon palm. Diguyur hangat mentari senja yang
sudah tak punya daya untuk menyengat kulit. Menunggui gadis di depannya hingga
puas menangis.
Barulah setelah bermenit-menit
membanjiri wajahnya dengan serdadu-serdadu bulir hangat yang berarakan rapat menelusuri
lekuk pipinya, Za perlahan mengangkat wajahnya. Membiarkan ruam-ruam hangat
mentari senja beradu dengan panas di matanya yang terasa menyipit. Melempar
pandang jauh ke depan. Menyapu hamparan lapangan sepakbola di kejauhan dan
kelok-kelok jalanan yang tampak menjuntai mengelilinginya.
Masih dengan sisa-sisa isakan Za
menoleh ke belakang, perlahan. Mendapati laki-laki itu masih berdiri bersandar
di pohon memandanginya. Tak sedikitpun merubah posisi maupun ekspresi saat
tatapan mereka beradu. Masih tetap berwajah teduh, dan tersenyum.
3 detik Za menatapnya lalu kemudian
kembali melempar pandang jauh kedepan. Perlahan tangannya terangkat mengusap
pipinya dengan punggung tangan. Membersihkan dagunya dari sisa-sisa gumpalan
air yang sudah menggunung bersiap jatuh.
“Kak Alam kenapa masih disini?”
Sengaja Alam memberi sedikit jeda
sebelum menjawab pertanyaan itu.
“Kan kamu yang ngajak.”
Sejenak Za mengatur nafas.
Menyadari pertanyaan bodoh yang seharusnya tidak perlu ia tanyakan. Harusnya
dia tahu bahwa Alam tak mungkin pergi meninggalkannya begitu saja setelah ia
menarik paksa tangannya tadi. Ia tahu pasti Alam akan menunggunya berhenti
menangis bahkan bila perlu sampai tengah malam pun laki-laki itu tetap akan
berdiri disana menemaninya.
“Aku udah nggapapa kok. Aku masih
pengen disini. Kak Alam kalau mau balik duluan juga nggapapa.”
Masih terdengar sisa-sisa getaran
di sela-sela suara Za.
“Oh, jadi kamu cuma jadiin aku
pelarian aja nih tadi?”
Deg! Za reflek menoleh dan
menggeleng cepat, membiarkan air matanya terkibas-kibas ke kanan kiri.
“Bukan! Bukan gitu kak. Aku beneran
ngga bermaksud kayak gitu. Aku cuma…”
“Iya iya….”
Alam menyela rentetan kalimat panik
Za. Ia berjalan mendekat dengan empat jemari kedua tangannya terselip di saku
celana, menyisakan sepasang jempol yang menyembul di luar. Mata Za terus
mengekor kemana sosok itu melangkah. Za mendongak menatap Alam yang berdiri di
sampingnya dengan pandangan terlempar jauh ke langit senja yang mulai merona.
Za menatap wajah laki-laki itu. Sisa-sisa semburat cahaya matahari sore
perlahan mengeringkan jejak-jejak air mata di wajahnya.
“Aku bercanda kok. Aku ngerti apa
yang kamu rasain. Lagipula, walaupun kamu cuma menjadikanku pelarianpun tidak
apa-apa.”
Za terkesiap. Kaget. Semakin
memelototi wajah yang menantang langit itu.
“Setidaknya kamu masih memilihku
sebagai tempat pelarian. Daripada kamu memilih orang lain dan tak
mempedulikanku sama sekali. Jadi, walaupun cuma sebagai pelarian, berada disini
sama kamu aja kurasa itu sudah cukup. Kalau disaat sedih seperti ini kamu
pengen ditemenin sama aku, bukankah itu artinya kamu merasa nyaman bersamaku?”
Telak. Tak satupun kalimat Alam
yang bisa ia bantah. Alam benar. Kenapa tadi dia memilih Alam. Kenapa dia tidak
menarik tangan Harrimand yang notabene adalah kakak kandungnya. Atau kenapa dia
tidak menyambar tangan Bagus yang selalu bisa memberi solusi-solusi hebat untuk
setiap curhatannya. Atau kenapa dia tidak pergi bersama Lucaz yang selalu bisa
membuatnya tertawa. Kenapa Alam?
Kalimat Alam tak satupun salah. Otak
dan hatinya sepakat mengiyakan. Membuat matanya tak juga mau beranjak dari rupa
tenang penuh senyuman itu. Ia bahkan tak berpaling salah tingkah seperti
biasanya saat Alam tampak sudah puas menatap senja merona dan mulai memutar
kepalanya menghadapi tatapan tertegun Za.
Kepala Za yang sudah beberapa menit
terdongak akhirnya turun perlahan seiring pandangannya yang mengikuti Alam
duduk di sebelah kanannya. Bayangan Alam yang masuk ke dalam pupilnya seolah
mengganjal air matanya hingga tak lagi mengucur. Alam duduk berjongkok dengan
kaki kiri bertumpu pada lutut. Menghadap pada Za, menatapnya. Laki-laki itu
tersenyum. Sangat manis…
Alam mendaratkan telapak tangan
kirinya lembut di kepala Za. Membiarkan rasa hangat dari rambut hitam pekat
yang sejak tadi terguyur terik mentari senja menelusup kulitnya.
“Mungkin dia belum yang terbaik
untukmu….”
Entah kenapa begitu kalimat itu
masuk menerobos daun telinganya, terus merambat melewati syaraf-syaraf
pendengarannya, dan bertemu dengan bayangan wajah tersenyum hangat di depannya
yang merembet dari syaraf penglihatannya, melebur menjadi satu di otaknya,
membuat Za merasa air matanya hendak bersiap kembali meluncur jatuh.
Tangan Za mengepal kuat. Ia kembali
menangis. Menangis dalam diam. Tak ada isakan. Hanya air mata yang meluncur
jatuh setelah menggantung sejenak di sudut matanya. Za hanya diam sembari pelan
menggigit bibir dan terus menatap sosok di depannya yang masih mengusap
rambutnya lembut.
Mata Za yang sudah mengabur karena
selaput bening menggenang itu reflek membelalak saat wajah yang ia pandang
tiba-tiba mendekat perlahan namun pasti. Kurang dari 3 detik, membuat tangan Za
kuat mengepal saat ia merasakan hangat di bibirnya.
Entah apa yang ia pikirkan. Tak ada
niat untuk menghindar. Tak ada hasrat untuk berpaling. Ia terpaku, pasrah.
Perlahan ia memejamkan matanya. Membiarkan rasa hangat itu semakin lama memeluk
perasaannya. Dingin senja yang perlahan menghitam tak mampu menembus batas
kasat mata yang membekam tubuhnya dengan perasaan hangat.
Mataharipun menyembunyikan dirinya.
Seolah membiarkan mereka berdua memiliki dunia. Membiarkan tetap seperti itu
untuk beberapa saat.
.
.
.
.
Ia memejamkan mata, mengepalkan
tangan. Mengeratkan dua rahangnya. Dan dengan kecepatan tinggi dan sekuat
tenaga dihantamkan tinjunya mematuk keras batang pohon di sampingnya.
Membiarkan titik-titik darah merembes kecil dari tulang-tulang punggung
tangannya yang terantuk kasarnya serat-serat permukaan tubuh pohon besar itu.
Sekali lagi ditatapnya penuh amarah
samar-samar bayangan di ujung bukit itu. Ditatapnya lekat-lekat dan disimpannya
dalam memori otak terdalam dan dalam hati yang paling dasar. Mengumpul dan
mengendap menjadi seonggok dendam yang tak kan mudah terkikis oleh apapun.
Gebrakan keras pintu mobil menelan
tubuh yang mengejang menahan amarah itu. Deru mesin yang distarter dengan kasar
pun berdengung bising seiring melesatnya besi hitam pekat itu menjauh dari
sana.
------------------------
Ia tak menyalahkan siapapun. Ia tak
menyalahkan apapun. Ia tak ingin memaki, ia tak ingin menyesali. Bukankah itu
yang selalu dikatakannya?
Setiap jengkal cerita dari kehidupan
selalu punya alasan mengapa harus terjadi. Setiap orang punya takdirnya sendiri
mengapa harus menjadi penyebab dari suatu fase kehidupan orang lain. Tidak ada
sesuatupun yang sia-sia. Tidak ada sedikitpun niat Tuhan untuk menyengsarakan
hamba-Nya. Ia hanya ingin melihat seberapa sayang makhluk yang ia ciptakan itu
pada-Nya. Bukankah itu yang selalu dikatakannya?
Kita tak kan pernah merasa bahagia
jika hanya menyesali setiap kekurangan. Kita tak kan pernah merasa bahagia jika
tak pernah mensyukuri apa yang kita dapat. Melihat ke atas ketika ingin berbuat
yang lebih baik, dan melihat ke bawah ketika berada dalam keterpurukan adalah
satu hal yang tak semua orang bisa lakukan, membuat kita terhindar dari
perasaan menjadi orang paling hebat di dunia maupun paling sengsara. Bukankah
itu yang selalu dikatakannya?
----------------------
Jakarta 07 Juli 2009
Ia kembali menatap mata itu. Mata
yang memandang tembok itu dengan senyum yang tak sedikitpun surut.
Rasa penasaran mendorong gadis itu
perlahan mengangkat tangannya. Ia lambaikan telapaknya menghalangi pandangan
kearah tembok itu. Barulah ia menyadarinya setelah melihat mata itu tetap
menatap titik yang sama. Dengan senyum, dalam diam…
Ia bergeser pelan mendekat pada
kakaknya. Ragu-ragu ia menyenggol pelan siku saudaranya itu. Laki-laki
yang sejak tadi mengobrol dengan seseorang bernama Icha itu pun segera
menoleh pada dirinya yang menatap kakaknya itu dengan ekspresi penasaran.
Jentikan alis laki-laki itu seolah
bertanya “kenapa?”
Ia berbisik pelan begitu kakaknya
sudah berdiri meyejajarinya. Tatapannya masih tertuju pada sosok yang terduduk
di atas kasur itu.
“Kak, apa…dia….buta?”
Dengan jelas ia bisa menangkap
isyarat raut kesedihan yang sontak menyembul dari wajah kakaknya. Laki-laki itu
perlahan memundurkan langkah yang segera dikuti olehnya, menjauhi ranjang
pasien seolah tak ingin apa yang akan ia katakan didengar oleh orang yang
menjadi topik pembicaraan mereka, walaupun ia tahu laki-laki itu tak mungkin
mendengarnya.
mereka pun berdiri agak menjauh
dari pasien itu. Sementara itu orang bernama Icha itu beralih mendekat pada
kakak yang sakit itu dan memegang telapak tangannya. Entah dengan isyarat
seperti apa dia seperti mengajak kakak itu mengobrol.
Kakaknya bicara sambil menatap
wajah temannya yang bahkan melihat wajah itu pun terasa miris.
“Dia lumpuh, buta, tuli….”
Karena kakaknya tidak melihat ke
arahnya jadi mungkin dia tidak mengetahui ekspresi kekagetan yang menyeruak
dari wajah gadis itu.
“Apa?”
“Kecelakaan itu membuat otaknya
mengalami kerusakan. Pembuluh darah di otak kirinya mengalami penyumbatan. Itu
membuat bagian tubuhnya yang sebelah kanan lumpuh.”
Reflek ia menutup mulut dengan
kedua telapak tangannya. Bisa dirasakan bulu roma di sekujur tubuhnya
merinding. Ada perasaan miris dan iba yang teramat sangat tiba-tiba
menyergapnya. Semakin merinding lagi saat ia melihat kakak itu tersenyum begitu
lebarnya pada Icha walaupun ia tak yakin laki-laki itu bisa sepenuhnya memahami
apa yang dikatakan oleh lawan bicaranya. Dia tampak begitu tegar dan kuat.
“Kecelakaannya parah banget ya?”
Kakaknya hanya menjawab dengan
anggukan.
“Dia bisa bertahan walaupun dengan
keadaan seperti itu?”
Pertanyaannya hanya dijawab dengan
helaan nafas dalam.
“namanya siapa?”
.
.
.
.
.
.
“Alam….”
Gadis itu kembali menatap sosok
teduh itu. Untuk kesekian kali ia merasakan merinding di sekujur tubuh ketika
menatap wajahnya. Sosok yang begitu tegar. Yang terus bersabar, dengan
senyum….dalam diam…
---------------------------
5 Juni 2009
Za meringsek dari tepian tempat
tidur, menyisakan kerut-kerut pada sprei yang menyelimuti kasurnya.
Menghempaskan badannya beralaskan bantal dan menarik selimut hingga sebatas
leher. Menatap kosong langit-langit kamarnya yang samar-samar karena hanya
tinggal lampu tidur kecil yang menerangi ruangan luas itu.
Ia menajamkan pandangannya. Membuat
dahinya terlipat-lipat bertingkat. Susah payah ia mencoba mencari jawaban atas
pertanyaan yang untuk kesekian kali muncul di otaknya. Pertanyaan yang aneh dan
membingungkan, yang sampai sekarang tak sedikitpun ada petunjuk baginya dimana
ia bisa mendapat jawabannya. Kak Harrimand yang sudah sempat ia tanyai pun,
berkali-kali malah, tak memberi jawaban yang memuaskan bagi hatinya. Hanya
tersenyum sambil menggelengkan kepala atau mengedikkan bahu, pasti selalu
begitu. Dan itu justru semakin menambah rasa penasaran yang menyesaki dadanya.
Rasa itu selalu muncul tiba-tiba.
Rasa yang membuat jantungnya tiba-tiba berdesir. Rasa yang seringkali
membuatnya berhenti mendadak ketika melangkah. Rasa yang beberapa kali
membuatnya sontak terpaku, menatap kosong dan tenggelam dalam dunia yang tak ia
kenal. Rasa yang aneh. Yang tak jarang membuatnya ketakutan karena merasa
sendirian berada di dunia yang tak dikenalnya.
Za menempelkan telapak tangan
kanannya di dada kiri. Merasakan, mencari samar-samar denyut jantung dibalik
lapisan daging dan lingkupan tulang. Mencoba mencari jawaban.
Siapa yang kurindukan?
Za memejamkan matanya. Kuat-kuat.
Namun justru hanya pening yang ia dapat. Semakin ia mencoba mencari, semakin
nyata rasa takut yang sontak menyergap perasaannya.
Serasa seperti ada yang
mencengkeram hatinya. Rasa rindu yang teramat sangat. Rasa rindu misterius yang
tak bisa ia temukan siapa yang dirindukannya. Membuatnya merasa takut pada
dirinya sendiri. Merindukan seseorang yang bahkan tidak ia tahu siapa?
Za terengah kembali menatap
langit-langit kamarnya. Membiarkan embun hangat menyembul perlahan dari
sudut-sudut matanya dan meluncur terantuk membasahi rambut yang tergerai di
bawah kepalanya. Nanar matanya terjaga dalam gelap. Terus mencoba mencari,
terus mencoba menemukannya. Menemukan sosok yang ia cari. Menemukan sosok yang
ia rindukan. Namun, tetap saja,,, gelap,,, dan menakutkan….
---------------------------
14 Mei 2009
Sangat berisik. Suara rumpian 3
orang ibu-ibu berdesakan di udara bersama bau semerbak harum adonan tepung yang
terpanggang. Gemerincing gelas beradu maupun sendok dan piring yang saling
berbenturan lirih melengkapi suasana sore itu.
Harrimand masih membolak-balik
kasar majalah di tangannya. Suara kertas-kertas yang didorong dengan kasar
memperdengarkan dengan jelas kebosanan dari si pembaca. Ia berdecak putus asa
atas kebosanannya sendiri dan akhirnya menutup dengan kasar majalahnya lalu
melemparnya begitu saja berserakan bersama majalah lain di meja.
Harrimand duduk malas bersandar
pada sofa ruang tamunya. Diam dengan wajah ditekuk tujuh saking bosannya.
Barulah ia sadari bahwa menjadi pengangguran setelah terbiasa diburu waktu
manggung sana sini ternyata bisa membuat otaknya mati gaya. Kendatipun itu
hanya 2 hari. Tapi jika ia hanya bisa terkungkung di rumah seperti ini
membuatnya merasa lebih baik lelah berangkat pagi pulang malam dan sibuk
bekerja di luar seperti biasa.
Terlebih lagi malam ini di rumahnya
akan ada pengajian. Sejak tadi siang rumahnya sudah berisik dengan dengung
cengkerama teman-teman ibunya di dapur. Membuatnya melupakan niat untuk tidur
siang maupun menonton TV dengan tenang. Ingin jalan-jalan keluar tapi apa yang
dikatakan ibunya? Ibunya mengatakan bahwa dia harus bersiaga di rumah karena
mungkin sewaktu-waktu ia dibutuhkan untuk mengantar ibu-ibu itu membeli
keperluan ini itu yang dirasa kurang. Dengusan bosan kembali menghambur di
udara.
Kesekian kalinya Harrimand menghela
nafas. Ia masih duduk bengong sambil sesekali membayangkan teman-teman lainnya
yang mungkin menghabiskan waktu liburnya hari ini dengan having fun. Matanya
melirik ke kanan dan ke kiri mengekor lalu lalang ibu-ibu yang sesekali
bolak-balik dari dapur ke ruang keluarga yang akan menjadi tempat pengajian
nanti malam. Harrimand memutar bola matanya, mencari-cari inspirasi di segenap
penjuru rumahnya yang mungkin bisa ia jadikan obyek kegiatan pengusir
kebosanan.
Pandangannya terhenti pada daun
pintu sebuah ruangan yang ada di samping ruang keluarga. Sejenak ia memandangi
daun pintunya yang tertutup rapat itu. Sontak ia pun beranjak dari kursi
malasnya. Berjalan pasti dan sedikit bersemangat karena merasa menemukan obyek
yang ia cari.
Harrimand berhenti di depan kamar
adiknya. Sejak pagi ia belum bertemu dengan adiknya itu. Hampir dua jam ia
duduk di ruang tamu juga tak tampak adiknya itu keluar kamar.
Tok tok…
“Za…”
Harrimand menunggu jawaban dari
dalam. Jemarinya memainkan gantungan berwarna merah jambu yang bertuliskan
“Zania Kairani” tergantung di pintu kamar adik satu-satunya itu. Gerak
jemarinya terhenti saat ia merasa sudah terlalu lama tak ada jawaban dari
dalam.
“Za?”
Harrimand merapatkan telinganya ke
daun pintu. Mencari-cari sayup suara yang mungkin terdengar dari dalam. Ia tak
bisa mendengar apapun. Ia sudah terlalu bosan untuk kembali duduk bengong di
kursi malasnya. Akhirnya dia memutuskan untuk menarik pelan handle pintu, tidak
terkunci.
“Kakak masuk ya…”
Hati-hati Harrimand mendorong daun
pintu yang berderit pelan. Setelah pintu itu terbuka agak lebar ia menyembulkan
kepalanya melongok ke dalam. Sebentar memandang berkeliling hingga akhirnya
berhenti menatap adiknya yang duduk tertunduk di tepian tempat tidur. Rambutnya
sedikit tergerai ke depan menutupi wajah. Tampak kedua tangannya mencengkeram
sprei di kiri-kanannya. Harrimand yang semula hanya menyodorkan kepalanya pun
bergegas membuka daun pintu lebar-lebar dan menerobos masuk. Wajah yang semula
sudah ia setting berekspresi jahil pun sontak berganti dengan raut kekhawatiran
demi melihat adiknya yang terlihat seperti ketakutan.
“Za, kamu kenapa?”
Harrimand berlutut di hadapan
adiknya. Khawatir melihat badan Za yang menggigil hebat. Ia menyingkapkan
rambut yang tergerai menutupi wajah gadis itu. Tampak jelas butiran-butiran
keringat berhamburan di wajahnya. pipinya basah oleh air mata. Nafasnya
terengah naik turun dengan mata yang terpejam kuat-kuat.
“Za?!?!?”
Za tak bergeming. Ia terus
memejamkan matanya rapat-rapat, menampakkan lipatan-lipatan di dahi yang
diguyur titik-titik keringat membanjir.
Harrimand meraih tangan adiknya.
Mencoba melepaskan tangan gementar itu dari cengkeramannya pada sprei dan
menggenggamnya erat.
“Kamu kenapa?”
Tak ada isakan. Air mata itu
mengalir begitu saja, dalam diam, di tengah beratnya helaan nafas yang juga
terdengar bergetar, menerobos kelopak yang bahkan sudah sekuat tenaga terpejam
menahannya. Wajah itu tampak ketakutan.
“Za?!?”
Dengan kedua tangannya Harrimand
mengangkat wajah Za yang tertunduk. Mata itu sontak membuka. Menatap wajah
penuh kekhawatiran yang memandangnya panik. Ia masih terus menangis tanpa
berkata apapun, dengan nafas terengah dan bibir yang digigit kuat-kuat hampir
berdarah.
“Za kamu kenapa?!? Bilang sama
kakak.”
Za tak bergeming.
Harrimand terus menunggu. Za tetap
tak angkat bicara. Gadis itu mengalihkan pandangannya kearah pintu kamarnya
yang terbuka. Menatapnya ketakutan.
Harrimand mengikuti pandangan
adiknya. Sebentar memandang pintu itu sembari berpikir lalu kembali menatap
wajah ketakutan Za. Ia pun beranjak dari sisi Za, melangkah kearah pintu dan
menutupnya. Setelahnya ia segera kembali ke samping Za yang sudah kembali
tertunduk.
Harrimand duduk di samping adiknya.
Ia meraih punggung Za dan memeluknya erat. Membiarkan isakan tertahan dalam
diam itu kini mulai bersuara. Harrimand memeluk badan yang gemetar itu
erat-erat, mengelus punggungnya yang bergetar hebat, mencoba meredam suara
tangis yang terdengar begitu menyakitkan hatinya sebagai seorang kakak.
“Aku takut…..”
Untuk kesekian kali dua kata itu ia
dengar dari adiknya. Entah sudah ke berapa puluh kali kata itu dilontarkan
padanya belakangan ini. Dua kata yang selama ini hanya bisa ia jawab dengan
“Semuanya akan baik-baik saja” atau bahkan hanya dengan senyuman dan usapan
pelan di rambut adiknya itu. Ketakutan yang tiba-tiba datang tanpa diketahui
penyebabnya. Ketakutan karena merasa berada dalam dunia yang tak dikenalnya.
“Semua akan baik-baik saja”
Gamang Harrimand mengucapkannya.
Berharap orang yang ia sayangi itu tak bosan mendengarnya. Ia mengeratkan
pelukannya, mencoba menguatkan adiknya, walaupun tangannnya sendiri terkepal
kuat melihat keadaan adiknya sekarang.
-----------------------------
Bandung, 7 Mei 2009
Rangkak jarum hitam pendek itu
seolah semakin berat dari hari ke hari. Sekuat tenaga menyeret langkahnya untuk
mengitari pusaran waktu sembari menarik beban keputusasaan yang menggelayut
manja di ujungnya. Ruam kelelahan semakin tergambar jelas di wajah yang
terkulai lelap beralaskan punggung tangan itu.
Tiga belas hari menunggu dalam
ketidakpastian hidup mati seseorang membuat rasa lelahnya terakumulasi dalam
tidur 2 jamnya pagi itu. Alisnya mulai samar tergerak saat suara derit pintu
menelusup gendang telinganya yang belakangan ini entah kenapa menjadi begitu
peka dengan suara sayup-sayup. Membuka mata terasa seberat mengangkat kepalanya
saat itu.
Icha melambaikan tangan kanannya
pelan saat mata sayu Harrimand bisa menangkap bayangan wajahnya.
Mengenali sosok yang sedang meletakkan bungkusan nasi kuning kesukaannya di
atas meja itu, Harrimand pun kembali meletakkan kepalanya yang sudah sejak
berhari-hari lalu pening.
“Pulang dulu sana. Biar aku yang
gantiin. Miris liat mukamu yang udah ngga bentuk gitu.”
Icha berjalan kearah jendela dan
menarik gerendelnya. Mendorong bagian bawahnya dan membiarkannya menganga.
Membuat aroma hari baru menyeruak ke seisi ruangan.
Harrimand tak bergeming. Ia masih
menelungkupkan dahinya ke atas punggung tangan kanannya yang menggenggam jemari
adik perempuannya. Icha mendesah prihatin melihat pemandangan di depannya itu.
“Istirahatlah sebentar…”
Harrimand baru mau mengangkat
lehernya saat pundaknya ditepuk pelan oleh Icha. Ia memutar-mutarkan kepalanya
hingga menimbulkan bunyi gemeletuk yang mewakili teriakan kelelahan dari
otot-otot di sekujur tubuhnya.
Ini sudah hari ke 13. Harrimand
sudah tak tau lagi harus memohon dengan cara apa agar Tuhan mau menyadarkan
adik satu-satunya itu dari koma panjang. Belum lagi ia harus bersiap dengan
kemungkinan buruk jika Za sadar nanti sebagaimana yang sudah dikatakan dokter
di awal.
Kecelakaan fatal itu membuat
adiknya terbaring seolah tanpa nyawa di atas kasur putih itu. Bergumul dengan juntaian-juntaian
selang dan kabel pendeteksi fungsi organ tubuh yang menjadi aksesoris pelengkap
baju pasien yang ia kenakan. Bibirnya yang memutih pucat tertutup oleh masker
oksigen. Masih tersisa gurat-gurat bekas luka di pelipis kanan,pipi dan dagunya,
memberi jejak bahwa luka yang sangat dalam pernah terpetakan disana. Juga masih
tampak sedikit memar di dekat telinga. Alisnya pun menyisakan segurat alur yang
menunjukkan bahwa bentuknya yang indah telah dirusak dengan paksa oleh hantaman
besi.
“Tidur bentar sana. Aku yang bakal
jagain Za. Tenang aja…”
Dengan sudut matanya Harrimand
memandang punggung tangan Icha yang masih bertumpu di pundaknya. Ia bisa
merasakan teriakan-teriakan bising dari seluruh otot anggota badannya yang
mendukung saran Icha. Akhirnya otaknya memberi persetujuan atas permintaan para
bawahannya itu dan memberi perintah pada kepala Harrimand untuk mengangguk
pelan. Icha pun tersenyum melihat sahabatnya itu mau sedikit mentolerir raganya
yang sudah diforsir selama berhari-hari.
Harrimand bersiap meninggalkan
kursinya yang sudah menghangat setelah semalam suntuk ia duduki, namun sontak
seluruh syarafnya seolah di pause dan membuatnya terpaku dalam keadaan setengah
berdiri. Icha ikut melipat kening melihat Harrimand sontak terpaku dan memandangi
adiknya dengan mata melebar.
Harrimand tak bergerak sedikitpun.
Bahkan ia seolah tak ingin gerak naik turun bernafasnya mengganggu
konsentrasinya. Ia sedang berkonsentrasi untuk merasakan sesuatu. Sesuatu yang
selama hampir dua minggu ia tunggu. Ia yakin ia tidak salah. Baru saja ia
merasakannya. Pelan, samar-samar. Ia merasakan tangan adiknya yang baru saja
hendak ia lepaskan bergerak sekejap. Ia yakin itu.
“Dia sadar?!?!?”
Harrimand yang sejak tadi
memfokuskan pengamatan pada jemari tangan Za, buru-buru melempar pandang pada
Icha. Berharap sahabatnya itu juga melihat tanda-tanda bahwa adiknya telah
sadar.
Mata Harrimand semakin membulat
saat ia melihat Icha terbelalak menatap wajah Za. Bergegas ia mengikuti arah
mata Icha. Jantung Harrimand seolah melompat saat ia melihat bulu-bulu mata
lentik itu bergetar. Kelopak mata itu perlahan tersingkap. Sangat pelan.
Menampakkan iris kecoklatan yang masih takut-takut menghadapi silau cahaya yang
sudah belasan hari tak singgah kesana.
“Za….”
Harrimand berdiri kasar. Membuat
kursi di belakangnya terdorong. Ia mendekati wajah adiknya. Berharap hal
pertama yang dilihat oleh gadis cantik itu adalah wajahnya. Butuh beberapa
menit hingga sepasang tirai kelopak itu tersingkap sempurna. Menampakkan mata
bulat coklat yang indah seperti milik Harrimand itu membuka sayu. Dan seperti
yang diharapkan, bola mata itu pelan bergeser ke sudut kiri. Beradu dengan
tatapan Harrimand.
Icha seperti ikut menahan nafas
menanti tiap detik saat menyenangkan, mengharukan atau mungkin menyedihkan itu
akhirnya tiba. Ia biarkan kakak beradik itu menguasai putaran waktu kali ini.
Menjadi pusat dari seluruh derit kehidupan pagi itu.
Seringai antusias Harrimand
perlahan surut setelah bertahan selama lebih dari satu menit menghadapi tatapan
gadis itu. Berganti dengan ekspresi hambar yang terpaku membalas pandangan sayu
itu. Ia menatap dalam-dalam hingga menelusup isi hati sang adik. Mencoba
merengkuh rasa yang ia tahu pasti dirasakan sosok di depannya itu sekarang.
Perlahan beku di wajah Harrimand
berganti dengan seulas senyum hangat sebagai jawaban atas pertanyaan yang sudah
berhasil ia raup dari mata Za. Pertanyaan yang sudah ia siapkan jawabannya
sejak hari pertama adiknya koma. Jawaban atas pertanyaan yang sudah dipastikan
oleh dokter akan muncul jika Za sadar nantinya.
Harrimand mengelus rambut adiknya
pelan. Merembetkan teduh lewat usapan lembut dan senyuman dari wajahnya.
Perlahan ia berbisik lirih. Mengeja kalimat pelan dan memastikan adiknya itu
bisa mendengarnya dengan jelas.
“Aku kakakmu…. Harrimand….
Kakakmu….”
Masih dengan senyum lembut ia
mengusap kening adiknya. Mencoba menancapkan dalam-dalam kalimat yang
diucapkannya tadi di hati orang yang disayanginya itu. Kalimat pertama yang
menjawab pertanyaan “kamu siapa?” yang mungkin juga pertama muncul di benak Za
setelah sekian lama terpejam itu.
“Aku kakakmu….”
Harrimand mengucapkan kalimat itu
sekali lagi. Memastikan Za merekam baik-baik hal itu dalam loker-loker otaknya.
Loker-loker yang terkoyak oleh kecelakaan hebat itu. Menyisakan pecahan-pecahan
ingatan yang luluh lantak terhantam karang-karang jurang yang menelan mobil
tumpangannya.
---------------------------
12 April 2009
Tak satupun memori dalam otaknya
mau ikut terbawa oleh kelebat-kelebat pepohonan yang mereka lewati di sepanjang
perjalanan. Tetap saja menggelayut berat di angan-angan Za. Membuat gadis itu
masih menatap kosong kaca mobil di sebelah kirinya yang menampakkan pemandangan
hijau berlalu cepat seiring putaran roda mobil yang membawanya menembus dinginnya
Bandung.
Embun di matanya seolah tak mau
kalah dengan derai berai sukacita titik-titik gerimis yang mematuk-matuk kaca
mobil itu. Ikut turun membanjir, berkumpul di ujung dagu dan berarak jatuh
setelah tak kuat ditimpali tetesan-tetesan yang menyusul dari mata bening itu.
“Za…..”
Mungkin orang di depan kemudi itu
akan menyerah jika panggilannya yang ketiga kali ini masih diacuhkan oleh Za.
Beruntung akhirnya kesadaran Za bisa menemukan jalan pulang dan kembali
merasuki jasad itu, membuatnya terkesiap mengerjapkan mata dan reflek segera
menghapus gumpalan embun yang membulat di ujung dagunya. Tergagap ia menoleh
pada orang di sampingnya. Sekuat tenaga menyajikan senyum pada laki-laki di
bangku kemudi itu.
“Maaf Kak…aku…”
“Ngga papa. Aku ngerti perasaanmu. Pasti
ngga mudah buat kamu bahkan untuk sekedar tersenyum yang wajar saja.”
Za sontak menyurutkan senyumnya
yang baru ia sadari tampak terlalu dibuat-buat. Ia sadar bahwa ia sedang dalam
posisi yang tak sanggup untuk tersenyum. Laki-laki itu justru membalas dengan
senyuman yang tentu saja jauh lebih terlihat menyenangkan. Mendamaikan hati Za.
Namun sepertinya Za tak ingin berlama-lama memandang senyum itu. Takut.
Bukankah karena senyum itu jugalah yang membuatnya akhirnya terjerembab dalam
genangan air mata seperti sekarang. Karena senyum orang disampingnya itu.
Karena sifat baiknya. Membuatnya jatuh hati bahkan disaat hatinya sudah ada
yang mengisi.
Akan tetapi, Za tetap tak mengerti
kenapa ia masih bisa berada disini, bersamanya. Satu mobil bersama orang yang
sudah turut andil merenggut kebahagiaannya. Entah apa yang membuatnya begitu
keras kepala. Za ingin membenci laki-laki itu. Tapi hatinya ternyata tak
sependapat dengan keinginannya. Ia lebih memilih menyalahkan dirinya sendiri
daripada harus membenci sosok teduh di sampingnya itu. Perasaan aneh yang entah
Za sendiri tidak bisa mendeskripsikannya dengan pasti.
Satu hal yang pasti adalah saat ini
ia merasa begitu kehilangan. Bayangan wajah Icha yang berpaling jengah darinya
membuat arak-arakan air mata itu kembali menggila. Membuat Za menggigit bibir
kuat-kuat menyesali segala apa yang sudah terjadi. Hilang sudah apa yang ia
jaga selama ini. Sirna sudah apa yang ia genggam selama ini. Ia masih
sangat-sangat ingin bersama dengan sosok yang dicintainya itu. Namun, itu sudah
tak mungkin lagi menjadi kenyataan. Icha bahkan seperti tak lagi mengenalinya.
Melupakan semua bersama sakit hatinya.
Mata Za melirik kembali laki-laki
di sampingnya yang sedang fokus menatap jalanan. Gadis itu mengepalkan
tangannya kuat-kuat.
Apa yang kulakukan disini? Kenapa
aku masih bersamanya?
Pernyataan itulah yang sekarang
memadati pikiran Za. Helaan nafasnya yang terasa berat tetap tak mampu
mengurangi penat di dadanya. Andai saja Kak Harrimand tidak perlu demam, andai
saja Kak Bagus tidak punya janji dengan mamanya, atau andai saja kak Lucaz
tidak perlu ke Sulawesi hari itu, pastilah Za tidak perlu menempuh perjalanan
kali itu bersamanya. Tapi bagaimanapun juga kebodohan itu sumbernya tetap dari
dirinya sendiri. Dirinya sendirilah yang begitu bodohnya mengangguk pasrah saat
laki-laki itu menawarkan diri untuk mengantarnya pulang ke Bandung. Dengan
mudahnya ia mengiyakan. Sekali lagi karena perasaan aneh yang tak bisa ia
deskripsikan dengan pasti.
Laki-laki itu mematikan tombol yang
mengontrol pembersih kaca depan setelah melihat titik-titik hujan sudah
berhenti berarakan memukul-mukul mobil yang ia kemudi. Sekilas ia menengadah
mengintip ke langit yang ternyata memang benar sudah menyemburatkan sedikit
celah bagi sang surya untuk menampakkan diri. Awan yang menggerumbul gelap
mulai berarak pergi meninggalkan kawasan yang mereka lalui. Menyisakan gemilau
aspal yang masih licin karena guyuran hujan.
Mendung berangsur-angsur memutih.
Sang surya juga mulai bersinar gagah. Samar-samar di langit kejauhan terlukis
tipis tumpukan-tumpukan warna yang melengkung indah. Begitu cantik dan
mendamaikan. Warna kehijauan daun-daun di pepohonan tampak semakin berkilau
karena lapisan titik-titik embun yang bertengger di permukaannya. Tinggallah
hawa dingin yang tersisa sebagai tanda bahwa baru saja turun hujan.
Namun suasana seperti ini
nampaknya terlalu indah untuk menjadi saksi bagi hari itu. Hari yang seolah
menjadi seperti breakshoot bagi permainan takdir mereka. Sebuah pukulan yang
menjadi awal baru bagi fase kehidupan mereka. Menjadi hantaman kuat bagi
bola-bola cerita yang semula diam tenang dan nyaman.
Waktu seolah mengitung mundur
menuju saat yang sudah digariskan. Dan tanpa seorangpun bisa mengira, detik itu
juga sang takdir bicara.
Detik-detik saat suara keras itu
mengagetkan Za dan si pengemudi. Ledakan ban kiri depan mobil itu tak pelak
lagi membuat stir sontak hilang kendali dan memutar brutal mengombang-ambingkan
apapun yang ada di dalamnya. Membiarkan mobil itu berputar kalut hingga akhirnya
tanpa ragu menabrak pembatas jalan yang sayangnya tak cukup kuat untuk menahan
beban baja yang menghantam tiba-tiba. Membiarkan mobil merah metalik itu terjun
bebas, berputar, terbalik dan terantuk-antuk bebatuan di sepanjang perjalanan
mencapai dasar jurang 70 meter itu.
.
.
.
.
.
Gemetar kesakitan di tengah
himpitan besi-besi bengkok yang menjepit tubuhnya membuat selaput buram itu
membayang tebal di mata indah Za. Membutakan pandangannya yang sudah menyabit
hendak terpejam. Masih sempat ia menangkap bayangan samar laki-laki itu tertelungkup
tragis. Hanya samar-samar kerah bajunya yang bisa ia kenali di tengah-tengah
lingkupan penyok-penyok badan mobil. Za mencoba menggerakkan tangannya yang
mati rasa, hendak meraih sosok yang membisu itu. Namun, tangannya bahkan
tak bisa tergerak sedikitpun. Perih menusuk luka menganga di tulang pipi
kanannya saat bulir hangat itu mengalir pasrah dari sudut matanya yang hampir
terkatup.
Hanya bisikan lemah yang menjadi
pengiring terpejamnya mata sayu bersimbah darah itu. Menjadi kalimat terakhir
sebelum semuanya menghitam pekat.
“Kak…….A….lam…..”
-----------------------------
Seperti apapun tangisanmu tidak
akan mengembalikan waktu. Sekeras apapun cacianmu tidak akan merubah nasibmu.
Sekencang apapun teriakanmu tak kan membuat semuanya menjadi lebih baik.
Mengapa tidak bertanya pada diri sendiri, kenapa hal seperti ini bisa terjadi,
mencari apa yang kurang dari kita, lalu memperbaikinya. Mengapa tidak
memikirkan saja apa yang harus dilakukan di masa depan, membuat segala
kekurangan menjadi kebahagiaan, berbuat sesuatu yang lebih dari sekedar
meratapi nasib, menyesali keadaan, menyalahkan takdir ataupun memaki Tuhan.
Bukankah itu yang selalu dikatakannya?
Setiap manusia punya takdirnya
sendiri. Tiap manusia pasti pernah bertanya apakah hidup ini adil. Tapi mereka
tidak akan pernah merasa hidup ini adil jika mereka selalu menilai bahwa
sesuatu dikatakan adil hanya jika mereka bahagia, dan hidup dianggap tidak adil
jika mereka menderita. Bukankah itu yang selalu dikatakannya?
Dia yang selalu tersenyum bahkan
disaat tak seorangpun mampu menahan tangis ketika melihat dirinya. Dia yang
bisa tertawa lepas bahkan disaat orang lain menahan gemetar kesedihan dalam
suara saat bicara dengannya. Dia yang tak pernah sekalipun mengatakan “aku
lelah”, “aku benci hidupku” atau “kenapa semua terjadi padaku”.
Dan akhirnya aku tak lagi bimbang.
Tak lagi bertanya bingung siapa sebenarnya yang kurindukan. Karena ternyata di
selip-selip loker ingatanku yang porak-poranda, masih ada secarik kertas berisi
selarik cerita tentangnya, berisi sebuah nama. Tentang seseorang yang membuatku
mampu melepas kepergiannya dengan senyuman seperti sekarang, walaupun mata ini
tak bisa menahan bulir-bulir hangat yang mengalir lembut menelusur lekuk pipi,
menghampiri perlahan sudut bibirku yang masih mengukir senyum untuknya.
Tentang seseorang yang sedang kupandang untuk terakhir kalinya. Kuantar
dengan senyuman, dengan perasaan rindu yang akan tetap terbingkai indah menjadi
sebuah kenangan. Tentang seseorang………. tentangnya………
Tentang Kak Alam….
Ya, dialah yang selama ini
kurindukan. Hatiku memang mendua, awalnya. tak mampu menentukan pilihan,
terombang-ambing dalam lautan perasaan, hingga menjawab pertanyaan tentang
siapa yang kurindukan pun aku tak sanggup. Namun, pada akhirnya aku mampu untuk
memilih. Menegaskan lukisan wajah samar-samar yang selama ini menggelayuti
pikiran. Menyingkirkan semua kebimbangan.
Namun sayang, aku tak sempat
mengatakannya, aku tak sempat menyatakan bahwa aku memilihnya. Terlambat memang
aku menyadari siapa yang kurindukan. Terlalu lama aku menemukan jawaban atas
pertanyaan itu. Terlalu lama aku membiarkannya menunggu. Membiarkannya sendiri
dalam gelap dunianya. Dalam senyum teduh yang menjadi satu-satunya teman dalam
ketakutannya. Hingga akhirnya ia tak mampu bertahan dan pergi meninggalkanku.
Pergi meninggalkan setumpuk rasa cinta yang kusimpan untuknya. Meninggalkan
segalanya. Meninggalkan dunia.
Kecelakaan itu merenggut semua
ingatan yang sudah menumpuk selama 20 tahun di otakku. Membuatku harus memulai
kembali hidupku sebagai seseorang yang baru. Yang tak pernah tau seperti apa
hidupku masa lampau.
Hidupku terasa hambar. Aku tidak
tau harus bagaimana. Tak ada yang ku kenal. Tak ada yang kuingat. Hanya rasa
takut karena merasa sendirilah yang seringkali muncul dalam otakku. Dan tentu
saja rasa aneh itu, rasa rindu yang aku tak tau untuk siapa.
Kak Harrimand…. Pastilah dia punya
alasan kenapa ia tak mau sedikitpun menceritakan tentang kak Icha dan kak Alam.
Dua orang yang memegang peran penting dalam alur kehidupanku sebelumnya. Ia
biarkan aku mengenal mereka sebagai sosok yang biasa saja. Dua orang yang
berteman akrab layaknya persahabatan pada umumnya. Ya, kak Icha sudah
sepeenuhnya memaafkan kak Alam, dan memaafkanku juga. Karena merasa kasihan
mungkin, atau karena rasa bersalah, mungkin juga. Akupun tak tau pasti. Yang
pasti, aku tak pernah tau seperti apa kami bertiga dulu. Hingga akhirnya
kepergian kak Alam membuka semua yang selama ini tertutup. Kak Harrimand
menceritakan semuanya,tepat satu hari sebelum kepergian Kak Alam. Sakit?
Ya. Aku merasa sakit hati karena mereka baru menceritakan padaku saat itu.
Belum sempat kusampaikan maafku, belum sempat kuucapkan terimakasihku, belum
sempat kunyatakan perasaanku, dia telah pergi.
Apa gunanya aku mengetahui semuanya
jika akhirnya sudah terlambat. Tak ada lagi yang bisa ku katakan. Tak ada lagi
maaf yang sempat kusampaikan. Atau ucapan terima kasih pun sudah tak mungkin
lagi kuberikan. Apa gunanya aku tau semua itu? Tidakkah lebih baik aku hidup
seperti ini selamanya? Tak mengenalnya?
Aku ingin memeluknya. Pastilah
selama ini dia kesepian, hampa di tengah gelap dan sunyi dunianya. Aku ingin
memeluknya, mengusap wajah manisnya, karena ia tak bisa melihat, tak bisa
mendengar, hanya bisa merasakan. Tapi sekali lagi semuanya terlambat.
TERLAMBAT!!
Tapi, untuk menyesalpun semuanya
sudah terlambat. Aku sudah terlanjur tahu yang sebenarnya. Aku sudah
menemukannya. Menemukan sosok yang kurindukan. Pantaskah aku membencinya?
Tidak, aku tidak ingin membencinya. Aku ingin mencintainya, seperti dulu.
Tak kupedulikan tatapan heran
orang-orang yang bingung karena melihatku terus tersenyum. Aku memang bukan
seseorang yang kuat. Aku tak menahan air mataku. Aku membiarkannya mengalir
bebas. Menatapnya lekat-lekat untuk yang terakhir kalinya, sebelum tanah merah
memeluk raga itu selamanya. Aku membiarkan kesedihan itu mengalir bersama air
mata. Aku hanya ingin tersenyum, seperti dirinya, seperti apa yang selalu
diajarkannya dulu saat aku masih mengenalinya, seperti apa yang selalu
dilakukannya untukku. Tersenyum.
Dalam hati ku bisikkan pelan.
Sebuah kalimat yang tak pernah sempat kuucapkan…..
Aku merindukanmu….
Dan akan terus merindukanmu….
Kak Alam…
-------------------------------------------------------
Selama aku mencari
Selama aku menanti
Bayang-bayangmu di batas senja
Matahari membakar rinduku
Ku melayang terbang tinggi
Tuk selalu mega-mega
Menembus dinding waktu
Ku terbaring dan pejamkan mata
Dlam hati kupanggil namamu
Semoga saja kau dengar dan
merasakan
Getaran di hatiku
Yang lama haus akan belaianmu
Seperti saat dulu
Saat pertama kau dekap dank au
kecup bibir ini
Dan kau bisikkan kata-kata ku cinta
padamu
Peluhku berjatuhan
Menikmati sentuhan
Perasaan yang teramat dalam
Telah kau bawa segala yang kupunya
Segala yang kupunya
(Rindu- Agnes Monica)
Dewi
Puspita
(@pusy_cliq)
- SEPASANG
SANDAL JEPIT -
"Aku hanya merasa, bahwa aku
dan kamu sebagai sepasang sandal jepit."
"Kau mau menganggap hubungan
kita tak ada artinya seperti sandal jepit? Atau kau menganggapku orang yang
mudah putus asa, seperti sandal jepit yang mudah memutus tali mereka?"
"Tidak..."
"Lalu apa?"
Bisma tersenyum manis. Pancaran
matanya yang bening, menyejukkan hati Cherri, wanita yang kini tengah beradu
mata dengannya. Tersirat penuh arti di sinar matanya yang masuk pada celah bola
mata (?) Cherri.
Cherri menunduk, menyembunyikan
wajahnya yang merona merah karena malu. "Bisakah kakak menjawab itu?"
#pletaak
Cherri, mengaduh pelan. "Kau
lupa, nona? Jangan panggil aku kakak!" ucapnya.
"Maaf..., dan jangan panggil aku Nona! Itu bukan namaku."
jawab Cherri sembari mengusap kepalanya yang tadi di hadiahkan satu jitakan
cukup keras. "Katakan apa maksudnya."
"Maksud apa?"
"Sandal jepit."
"Aku hanya merasa, aku tidak
berguna tanpamu. Dan aku pun ingin kau merasakan hal yang sama."
"Sandal jepit menjadi tidak
berarti, apabila salah satu dari mereka hilang. Dan jika kau hilang, aku tidak
berarti. Bukankah sama?"
Cherri lagi-lagi menunduk setelah
memperhatikan untaian kata yang keluar dari mulut Bisma. Semburat merah nyata
terlihat di pipi sang gadis manis 18 tahun tersebut. "Maaf ya..."
ucapnya masih menunduk.
"Untuk apa?"
"Aku kira, kau hanya
menganggapku tak berarti."
"Tidak apa."
@@@@@@
-- Cherri POV --
Aku sangat percaya bahwa Bisma
mencintaiku. Aku percaya kata-kata manisnya hanya untukku. Aku percaya senyum
tulusnya di peruntunkan padaku. Bahkan aku sangat percaya, bila aku telah
memiliki hati Bisma sepenuhnya.
Namun...
Kehancuran itu tiba saat ini,
Saat ku melihatnya berjabat tangan
dengan seorang penghulu, mengucap janji suci di samping seorang wanita. Wanita
berparas cantik, dengan gaun anggun yang dikenakan selaras dengan tubuh
mungilnya. Dia benar-benar bidadari.
Ingin aku memberontak, tetapi
mulutku terkunci bisu. Kini, hanya untaian senyum, doa, serta kata 'selamat'
kemunafikan yang kutunjukkan. Aku tak mampu melihatnya. Sungguh.
"Selamat," hanya itu yang
ku ucapkan seusai ijab qobul, kemudian pergi meninggalkan mereka.
@@@@@@
___Bisma POV___
Aku mengerti perasaan dia. Aku
yakin, sebenarnya ia ingin menjerit kesakitan. Namun apa yang bisa ku perbuat?
Maafkan aku, Cherri, maafkan aku....
"Selamat," aku tahu ada
lirih di balik satu kata itu. Meskipun dia sama sekali tak menatapku saat
mengucapnya, tetapi di nada suara itu ia bergetar, aku tahu ia menahan tangis,
tangis karenaku.
"Bis, maafkan aku..." ku
dengar sayup-sayup suara orang di sebelahku mengatakannya.
"Untuk apa?"
"Untuk hubungan kalian."
Ahhhh... Entah mengapa, organ-organ
dalam tubuhku seakan berhenti saat kedatangan Cherry tadi.
@@@@@@@
___Author POV___
Bandung, 04 Februari, 10pm
"Maafkan aku merusak hubungan
kalian. Ini perjodohan orang tuaku sejak dulu, Cher, maafkan aku..."
Franda menangis memeluk Cherri. Cherri tetap tak merespon. "Peluk aku jika
kau memaafkanku." sambungnya.
"Berhenti." Cherri
menjawab pelan, bahkan nyaris tak terdengar. Franda tak mengubris, ia tetap
menangis memeluk Cherri.
Aku dan kamu bagai sepasang sandal
jepit.
"Fran, berhenti
kubilang."
Aku hanya merasa, aku tidak berguna
tanpamu. Dan aku pun ingin kau merasakan hal yang sama.
"Berhenti, Fran!"
Sandal jepit menjadi tidak berarti,
apabila salah satu dari mereka hilang. Dan jika kau hilang, aku tidak berarti.
"Franda! Cukup!!" Cherri
dengan kasar melepas pelukannya. Ia menjambak rambutnya kuat, berusaha
mengurangi rasa sakit hati yang ia rasakan.
"PERGI!!!"
Entah...
Bayangan Bisma,
Kata-kata Bisma,
Semua tiba-tiba terngiang dan
berputar begitu saja di ingatannya. Sebuah untaian kisah masa lalunya bersama
Bisma, merupakan kenangan terindah yang pernah ia miliki.
Cherri mengedarkan pandangannya ke
seluruh sudut ruangan. Ia mencari sosok yang baru saja di usirnya. 'Tak ada'
pekiknya dalam hati.
"Cher..." Cherri
menggerakkan matanya untuk melihat sang empunya suara. Ia memang sangat kenal
dengan suara itu. Namun, ia tak yakin bila itu memang yang di maksud. Matanya
terpengangah ketika melihat sang pujaan hatinya tengah berdiri di ambang pintu.
"Bib-bisma?"
"Maafkan aku..." hanya
itu, kemudian berjalan memeluk Cherri dan menangis. Tak biasanya ia seperti
itu, tak biasanya ia menangiskarena urusan percintaannya. Tak biasanya ia
menangis di depan wanita yang sangat di cintainya itu.
"Maafkan aku, Cher. Tempat mu,
memiliki ruang sendiri di hatiku."
"Apa gunanya bila aku juga tak
dapat memilikimu. Tempat itu akan sia-sia."
"Enggak, Cher."
"Aku akan berusaha menerima.
Inilah keputusan orang tua kalian. Mulailah mencintai Franda, dan melupakanku.
Anggap dia pengganti sebelah sandal jepitmu yang hilang."
"Aku gak akan bisa."
"Kamu pasti bisa. Aku akan
pergi jauh dari sini. Entah kemana. Yang pasti, satu pesanku, jaga sahabatku
yang bodoh itu."
Cherri melepas pelukan Bisma,
kemudian berlari entah kemana.
@@@@@@@@@
Bandung, 07 Februari
"Seorang wanita, di temukan
tewas terapung di sungai. Diperkirakan, sudah lebih dari 2 ia berada di sungai
itu,"
Deg!!!
Entah mengapa, jantung Bisma
seketika berhenti berdetak. Ia begitu yakin bahwa Cherri adalah wanita itu.
Dengan langkah gontai, Bisma menuju mobilnya mendekat ke sungai yang di maksud.
Di jalankan mobil BMW merah itu dengan sangat cepat.
"Seharusnya aku tetap jaga
kamu, Cher. Dan gak seharusnya aku mendengar ucapan orang tua aku buat nikahin
sahabat kamu. Aku emang bodoh! Jangan tinggalin aku, sayang. Please." Tak
hentinya Bisma mengumpat dan mencaci dirinya sendiri di mobil.
"CHERRI!!!" Teriakan
Bisma memekakan telinga kerumunan orang di sekitarnya. Bisma benar-benar
melihat Cherri di hadapannya. Tebujur kaku dengan pakaian compang-camping. Di
peluknya Cherri hingga bajunya di penuhi lumpur yang tertempel pada pakaian
Cherri. "Bangun, kumohon..."
"CHERRI!"
@@@@@@@
1 bulan kemudian.
"Apa kamu menyesal menikah
denganku, Bis."
"Gak, Fran. Tidur yah, sudah
malam."
Jaga sahabatku yang bodoh itu.
Bisma membalikkan tubuhnya, hingga
tidur miring menghadap Franda.
"Fran, kamu tahu, aku ingin
menjadikan kamu sebagai salah satu sepatuku?"
"Sepasang? Sepatumu?"
"Tidak! Hanya sebelah."
"Sebelah?"
"Karena sebelah lagi milikku.
Kita tak akan berarti apa-apa jika salah satu antara kita hilang. Oleh sebab
itu, jangan pergi dariku. Karena aku, tidak berarti tanpamu."
'Kau dengar itu, Cher? Aku katakan
padanya sepatu, bukan sandal. Kau benar, sandal itu mudah putus. Hingga aku
juga takut, aku mudah putus asa dalam mencoba mencintai Franda.' lirih Bisma
dalam hati.
Vena
Annisa
(@Vhenna_vhen)
- Maafkan Aku -
Sejak ia pergi dari hidupku….
Kumerasa sepi… Dia tinggalkan ku
sendiri disini…
Tanpa satu yang pasti…
Aku tak tau harus bagaimana…
Aku merasa tiada berkawan
Selain dirimu… selain cintamu…
Itulah yang ku rasakan sekarang
ini, rasa sepi terus menghantui hidupku, semenjak Dicky pergi meninggalkan ku
untuk selamanya. Setelah hari itu aku menjalani hidupku dengan senyum terpaksa.
Semua hal yang dianggap orang menyenangkan bagiku itu menyedihkan, namun semua
itu kini telah berubah, kini hidupku penuh dengan senyuman, dia adalah Bisma,
dia adalah satu-satunya pria yang dapat membuat hidupku ceria, senyumnya maupun
sifatnya begitu sama dengan Dicky dan berkatnyalah aku selalu merasakan Dicky
di sampingku dan membuatku begitu menyayanginya tak mau jauh darinya.
Semua itu berawal dari pertemuan
kami disalah satu toko buku. Hari itu aku sedang mencari-cari novel keluaran
terbaru, dan dia sedang mencari komik kesayanganya.
“misi, mas…” (ucapku, ingin lewat)
“sini lo…” (ucapnya menarik
tanganku)
“adudududuh…pelan-pelan mas…”
(ucapku ingin melepaskan genggamannya)
“udah diem aja…duduk sini !!!”
(ucapnya menyuruhku duduk di sampingnya)
“i-i-iya… ada apa ya mas ?”
(tanyaku sambil duduk di sampingnya)
“temenin gue !!!” (ucapnya singkat)
“tapi mas saya---“
“Bisma…udah duduk aja…”
“emmmph…ok”
*8 bulan kemudian
Setelah kami kenal cukup lama,
akhirnya Bisma menyatakan cintanya padaku. Hal itu terjadi pada saat kami pergi
keluar mencari makan. Malam itu Bisma menembak ku dengan nada gugup, walau aku
sudah tau dari dulu tentang perasaanya kepada ku, tapi tetap saja aku merasakan
gugup yang sama seperti Bisma.
Setelah 2 tahun pacaran, Bisma
tidak pernah mengajakku ke rumahnya begitupun aku. Akibatnya Bisma sempat salah
paham kepada ku. Hal itu terjadi 4 bulan yang lalu. Hari itu Bisma izin kepada
ku , ia ingin pergi ke Lampung untuk studytur. Selama Bisma di Lampung aku
ditemani oleh saudara pria ku, namanya Rafael.
Selama itu juga Rafael menemani
hari-hariku…mau di kampus ataupun di toko buku. Hari ini Bisma pulang akupun
senang, tapi tidak untuk Rafael dan Bisma. Ternyata bisma sudah pulang seminggu
yang lalu selama itu Bisma selalu mengikutiku kemanapun aku dan Rafael pergi.
Sampai akhirnya kesalah pahaman itu
tiba. Bisma memergoki ku sedang makan berdua dengan Rafael. Tanpa pikir panjang
Bisma langsung menghampiriku dan Rafael, lalu menamparnya.
“STOP…STOP…!!!” (ucapku memisahkan
mereka berdua)
“oh jadi gini yang kamu lakuin di
belakang aku?!!” (ucap Bisma membentakku)
“apa maksud kamu Bis ?!” (tanyaku
sambil mengelus-elus pipi Rafael)
“ini…siapa cowo ini, selingkuhan
kamu ?!!” (ucapnya membentakku lagi)
“dia…dia saudara aku Bis…”
“aha…saudara ya…? Maaf aku ga parcaya”
“benar ko aku saudaranya” (ucap
Rafael membelaku)
“eh…diem lo ini bukan urusan lo
!!!”
“Bis…dengerin dulu penjelasan aku…”
“penjelasan apa lagi sih…ini udah
jelas terbukti !!!”
“eh…ini bukan maksud gue ikut
campur ya…gue cuma mau bilang KALO JADI COWO JANGAN EGOIS DONK !!!” (ucap
Rafael membentak Bisma)
“eh…lu JANGAN IKUT CAMPUR URUSAN
GUE !!! MULAI DETIK INI KITA PUTUS !!!” (bentaknya padaku dan Rafael)
“APA BIS…?!”
“kita PUTUS!!!”
ZEP…rasanya seperti disambar petir
di siang bolong, kini aku sudah tidak merasakan apa-apa lagi, rasa ini adalah
rasa yang ke-2 kalinya di hidupku setelah Dicky pergi untuk selamanya. Ingin
rasanya aku mengakhiri hidup ku ini dengan cara menusukan pisau cutter yang
berada di tangan ku ini ke tubuh ku. Baru saja aku ingin melakukannya,
tiba-tiba Rafael datang dan melepaskan cutter yang tadi ada di tanganku…
“lepasin…Raf…lepasin!!!”
“kamu gila…baru di putusin cowo
kaya gitu aja kamu mau bunuh diri ?!!”
“trus aku harus gimana…aku
bingung…aku frustasi !!!”
“udah kamu tenang aja ya…ada aku
disini !”
“makasih Raf, kamu emang saudara
aku yang paling baik !!”
#3 bulan kemudian
Sudah 3 bulan aku putus dengan
Bisma, namun rasa sakit ini masih terasa dengan jelas di hati ku. Hari ini aku
pergi ke Australi untuk melanjutkan kuliah ku yang tertunda dan untuk melupakan
Bisma juga tentunya, sebelum pergi aku menyempatkan diri untuk berkunjung ke
rumah Bisma, sekaligus ngasih sesuatu untuknya.
#rumah Bisma
Terlihat rumahnya sepi, aku takut
untuk mengetuk rumahnya, jadi lebih baik ku letekkan bingkisan ini di kotak
suratnya, dan berharap Bisma mengetahuinya.
#2 tahun kemudian
Walaupun sudah 2 tahun di Australi
tetap saja aku tidak bisa membuang rasa sayang dan cintaku terhadap Bisma. Sore
itu aku iseng-iseng datang ketempat rahasiaku dan Bisma, disana terdapat kotak
khusus. Saat kulihat kotak surat itu penuh dengan surat dan sebagainya.
Ternyata isinya adalah surat permohonan maaf Bisma kepadaku.
#isi surat
“maafin aku atas semua ke egoisan
aku ke kamu…aku udah gak mau dengerin semua penjelasan dari kamu, sekarang aku
nyesel…aku kira kamu memacariku hanya untuk pelampiasan saja, ternyata aku
salah…kamu menyayangiku dengan setulus hatimu…maafin aku ya…”
(tiba-tiba terdengar suara nyanyian
merdu seorang pria)
“berat ku rasa hari ini
masih terdengar di telingaku semua
kata
tersadar ku tlah sakiti hatimu
meski bukan maksudku tuk lukai
perasaan
kasih maafkanlah aku dan jangan kau
membisu
karna kesalahanku, keegoanku
berikanku kesempatan tuk perbaiki
semua
karna ku hanya ingin membuatmu
bahagia … maafin aku ya…”
“(aku kaget dan langsung
membalikkan badan ku) BISMA ???”
“MAAF….” (hanya itu yang ku dengar
dr mulutnya)
“gak papa lagi, aku udah maafin
kamu dari dulu kok”
“makasih…oya, aku kangen sama
kamu…”
“ummph…aku juga, aku kangen sama
senyum kamu, bis…”
“ummph…ada yang mau aku omongin”
“ngomong aja…”
“kamu mau ga jadi pacar aku
lagi….aku janji ga akan egois lagi !!!”
“…….” (menganggukan kepala)
"makasih ya, ummph….imut
banget sih !!!” (mencubit pipiku)
“iiiih…sakit tau !!!”(ngelus-elus
pipiku yang memerah akibat cubitan dari Bisma tadi)
THE END…
Indah
(@iindaaahhh)
- Unforgettable Memory -
Author : @sherly1819
Cast : Sherly, Kosta Rio(s9b),
chris (s9b) & Denanda
Length : one shoot
Sherly POV
Aku menenggak jus
apel yang sedari tadi setia menunggu di kulkas. Aku berjalan menuju kamarku
sambil membawa gelas berisi jus apel. Sesampainya di kamarku aku langsung
merebahkan diri di ranjang dan meletakkan gelas di meja rias. Aku mengambil
novel yang belum selesai kubaca dan mulai membacanya.
Tiba-tiba angin
dingin menyeruak masuk ke kamarku. Aku menoleh kearah jendela. Tertutup.
Jendelaku tertutup. Angin dari mana ini? Aku meneruskan membaca. Mungkin hanya
perasaanku saja.
“siapa kau?”
Aku terlonjak
kaget dan berbalik. Berdiri seorang lelaki didekat meja riasku. “siapa kau?
Kenapa kau bisa disini?” tanyaku sedikit gugup.
“aku tak tau…”
katanya. Sepertinya dia jujur.
Siapa dia? Aku tak
pernah melihatnya. Kenapa dia bisa masuk kamarku?
“siapa namamu?”
tanyaku sambil berusaha menenangkan diri.
Dia menggeleng
lemah. Apa? Dia bahkan tak tahu namanya?
“tempat
tinggalmu?” tanyaku lagi.
Dia kembali
menggeleng. Aiish jangan-jangan dia masuk karena denanda? Aku segera menarik
tangannya keluar kamar. Tangannya dingin. Dia mengikutiku menuju kamar denanda,
kakakku.
Aku perlahan
membuka pintu kamar denanda. Saat kubuka pintu. Kulihat denanda menangis di
ranjangnya. Aku menghampirinya. Sedangkan lelaki itu tetap berdiri di ambang
pintu.
“Kakak…kau
kenapa?” tanyaku sambil duduk disampingnya.
“Rio…dia
kecelakaan…sekarang keadaannya kritis!” Denanda menjelaskan dengan
terbata-bata. Rio adalah pacar kakakku. Aku tak pernah bertemu dengannya.
Aku memeluk tubuh
kakakku. “doakan saja dia membaik…”
“terimakasih
Sherly…” katanya sambil tersenyum.
“oh iya kakak!
Apakah kau membawa seseorang masuk kedalam?” tanyaku setelah denanda sedikit
tenang.
“siapa?”
“uuhhm itu lelaki
yang sedang berdiri di ambang pintumu…” kataku sambil menunjuk kearah ambang
pintu.
Denanda
mengernyitkan dahi. “Sherly…tak ada siapapun di ambang pintu…”
Apa? Tidakkah
Denanda melihat lelaki itu berdiri dengan ekspresi bingung? Aku menatap penuh
Tanya kearah lelaki itu. Lelaki itu menggeleng pelan.
“baiklah
kak..sebaiknya kakak tidur saja…” kataku sambil berdiri dan keluar kamar.
“siapa kau
sebenarnya?” tanyaku setelah menutup pintu kamar denanda.
“sudah kubilang
aku tak ingat apapun! Aku tiba-tiba saja bisa muncul dikamarmu!” kata lelaki
itu.
“baiklah…lalu
kenapa kau tak pergi sekarang?” tanyaku.
“aku tak tau harus
kemana…” katanya. “karena itu aku akan tinggal disini sampai menemukan siapa
aku sebenarnya…” sambungnya lagi.
“apa? Kenapa harus
disini?” tanyaku.
“karena kau bisa
melihatku! Kakakmu saja tak bisa melihatku…”
“tapi…”
“ayolah, Sher…” ia
memohon.
“baiklah…sebelumnya
aku harus memberimu nama…”
“terserah kau
saja…”
“Leo! Aku akan
memanggilmu Leo!”
“kenapa Leo?”
“entahlah…aku suka
nama itu…” aku juga tak tau kenapa harus ‘Leo.
“baiklah…sekarang
kau harus tidur…bukankah besok kau kuliah?” katanya.
“memang…” kataku
lalu berjalan ke kamarku dan menutup pintu.
<<<***>>>
“Sherly! bangun!”
uggh pasti itu suara leo. Aku menggeliat sedikit lalu menarik selimutku hingga
ke ujung kepala. Tiba-tiba sebuah tangan dingin memegang pipiku. Aku terlonjak
kaget.
“tanganmu dingin!”
kataku sambil turun dari ranjang.
“berguna untuk
membangunkanmu!” kata Leo sambil tertawa.
“kenapa kau bisa
menyentuhku?” tanyaku bingung. Yaah leo kan hantu…dia bisa menembus tembok tapi
bisa menyentuhku. Bukankah itu aneh?
“aku tak tau…aku
juga bisa memelukmu…” katanya lalu memelukku. Dingin. Badannya dingin. Tanpa
kusadari pipiku memanas.
Aku melepaskan
pelukannya lalu berjalan menuju kamar mandi tanpa berkata apa-apa lagi.
<<<***>>>
Leo mondar-mandir
di kamar Sherly, sementara sherly mandi. Pikirannya kacau. Kenapa dia disini?
Apakah dia benar-benar hantu? Lalu kenapa dirumah ini? Dan namanya. Leo
tersenyum. Sherly memberinya nama itu. Entah kenapa dia senang ketika di sisi
Sherly padahal mereka baru kenal kemarin.
Satu hal lagi yang
sedikit aneh menurut leo. Leo merasa dia sangat mengenal denanda, Kakak Sherly.
<<<***>>>
Haaah akhirnya
kuliah hari ini selesai juga. Setidaknya aku tidak diganggu lagi oleh leo. Tadi
dia menggangguku dengan cara menjatuhkan tasku. Lalu dia mengganggu dosen
dengan menarik wig dosen yang ternyata botak itu. Setelah itu dia tertawa
tebahak-bahak.
“kau juga senang
kan Sher?” tanyanya sambil tetap tertawa.
“ya…untung saja
mereka tak melihatmu!”
“kalau mereka
melihatku aku tak akan melakukannya, bodoh!”
“apa? Kau bilang
aku bodoh!” Jeritku. Aku menjerit! Kulihat beberapa mahasiswa menatap heran
kearahku. Mungkin mereka menganggapku gila. Aku segera berlari. Leo tetap
mengikutiku.
BUUKH
“aawww” tubuhku
terpental. Aku menabrak seseorang.
“kau tak apa?”
Aku mendongak
melihat siapa yang kutabrak. Chris. Yaah dia satu angkatan denganku. Dia
membantuku berdiri.
“Makasih…” aku
berterima kasih kepadanya.
“kau... Sherly
kan?” tanyanya. Wow…dia mengenalku! Chris seorang cowo yang di idam-idamkan
cewe satu universitas mengenalku! Wajar saja aku sedikit senang.
“kau mengenalku?”
tanyaku.
Dia mengangguk.
“kau mau pulang?”
Aku balas
mengangguk.
“kalau begitu biar
aku antar!” katanya sambil menarik tanganku. Pasti pipiku merah sekarang. Aku
tak bisa menolak ajakannya.
Chris mengantarku
dengan mobilnya. Sesampainya didepan rumahku aku turun.
“Thanks chris…”
kataku sambil tersenyum.
Chris balas
tersenyum. “aku senang bisa melihatmu tersenyum..”
Aku terdiam. Lalu
masuk kedalam rumah.
“kau senang?” Leo bertanya begitu
aku menutup pintu.Aku tersenyum lalu mengangguk. “ aku sangat senang hari ini!”
Leo hanya tersenyum hambar. Kenapa
dia? Ahh biarlah…mungkin dia punya masalah sendiri.
<<<***>>>
Satu bulan telah berlalu. Leo belum
juga menemukan siapa dirinya. Sementara aku merasakan sesuatu yang berbeda.
Perasaanku terhadap leo. Aku meyakinkan diriku bahwa perasaan ini adalah
perasaan sayang karena leo selalu disampingku. Selalu mendengar ceritaku.
Selalu menghiburku.
“Sherly! Rio akan di operasi!”
tiba-tiba denanda keluar dari kamarnya dengan berlinang air mata.
“apa? Kenapa?” tanyaku bingung.
Sudah satu bulan ini juga rio, pacar kakakku kritis.
“ayo ikut aku!” katanya sambil
menarik tanganku. Aku hanya mengikutinya.
<<<***>>>
Sesampainya di rumah sakit aku dan
denanda segera ke kamar operasi. Denanda memaksa masuk tapi tidak diizinkan
oleh salah satu perawat. Sekarang denanda hanya menangis di depan pintu kamar
operasi.
“seberapa parah dia?” Tanya leo.
“aku tak tau…bahkan aku tak tau
bagaimana rupa rio!” kataku.
Tiba-tiba pintu kamar operasi
terbuka. Aku melihat beberapa perawat membawa sesosok tubuh yang terbaring
lemah keluar. Dia Rio. Kakakku berdiri di sampingnya. Menangis.
Aku melihat wajah rio. Seketika itu
pula seluruh darahku membeku. Aku menatap leo yang menatapku penuh arti. Tanpa
sadar airmata mengalir di pipiku. Sementara rio dimasukkan ke ruang ICU.Aku
terduduk. Airmata mengalir deras dipipiku. Leo. Yang selama satu bulan
belakangan ini selalu disampingku. Selalu menghiburku ternyata adalah Rio,
pacar kakakku. Aku merasakan leo memelukku. Aku mendongak menatapnya. “kau
adalah rio…” gumamku. Dia mengangguk.
“I love you…”
bisiknya lirih. Leo atau lebih tepatnya jiwa rio, pacar kakakku. Megatakan
bahwa ia mencintaiku. Airmataku semakin deras mengalir. Perlahan aku merasakan
leo menghilang. Tangan dinginnya tak lagi menggenggam tanganku. Dia tak lagi
memelukku.
“I love you too…”
bisikku lirih. Aku mencintainya. Aku tak bisa lagi membohongi perasaanku. Aku
mencintai rio yang tragisnya adalah pacar kakakku.
Aku mencoba
berdiri dan menghapiri kakakku. Ketika aku sampai dikamar rio. Aku melihatnya
telah sadar.
“dia adikku,
sherly…” kata kakakku pada rio. Aku hanya tersenyum hambar. Ingatkah ia akan
kenangan jiwanya?
“ternyata dia
Sherly…hello sherly ^^…” kata rio sambil tersenyum. Senyum yang selama ini
menenangkanku. Jelas sudah. Dia tak ingat.
“aku senang kau
sudah membaik…” kataku sedikit tercekat. “Leo…” gumamku tanpa sadar. Kakakku
tak mendengar namun rio mendengar dia mengernyitkan dahi bingung.
<<<***>>>
Sherly POVAku
melihat kakakku tersenyum bahagia diatas panggung itu. Bersama Rio. Hari ini
adalah hari pertunangan denanda dan rio. Mereka tampak bahagia. Tak hentinya
bibir mereka menyunggikan senyum.
Melihat mereka
bahagia seakan membuka luka lamaku. Jujur saja hatiku sakit saat melihat orang
yang kucintai tersenyum bahagia dihari pertunangannya bersama perempuan lain
yang tragisnya adalah kakak kandungku.Aku mencoba tersenyum. Aku akan mencoba
menghapus cintaku pada rio. Tapi aku tak akan melupakan kenanganku dengannya.
Aku akan mencoba menata kembali hidupku dengan kenangan itu sebagai penguatku.
“kapan kita akan
seperti mereka?” Tanya chris sembari merapatkan tubuhku ke tubuhnya.
Aku tersenyum.
“saat kita yakin…” jawabku.
“kau benar…” kata
chris sambil tersenyum manis.
Yaah…aku juga akan
belajar mencintai chris yang sekarang resmi menjadi pacarku.
Semoga rio
bahagia…sesederhana itu keinginanku.
<<<***>>>
Sherly
(@sherly1819)
- CATATAN
BUAT SUPER9BOYS -
“Pokoknya gag usah
ya! Gag ada yang namanya ikut-ikutan ngumpul-ngumpul gag jelas dengan
mereka, Ngapain coba? ngabisin duit aja, lagian buat apa kamu mati-matian
ngefans sama Boyband Indo yg
super alay itu??
Helloww, kamu banyak istirahat saja npa!!” Seru ka Fitri sambil menatapku
geram. Akupun hanya terdiam membisu, ingin
Rasanya jiwaku
terbang melayang jauh meninggalkan kakakku yang super cerewet ini, “kapan
sih, ka fitri berhenti ngomel, udah mau sejam aku berdiri sambil dengerin
kak fitri ngomell!” jeritku dalam hati.
Tanpa sadar
akupun hanyut dalam lamunan yang telah menerawang jauh, dimana aku dengan
gaun merah indah menari di taman bunga yg di tumbuhi sejuta mawar indah
merekah di temani oleh 9 pangeran tampan super squad yang tengah
melantunkan lagunya Suka sama suka untukku, duuhh, romantisnya, serasa
dunia ini hanya milik berdua, ups, salah! Bersepuluh, maksudnya, yang lain
ngontrak aja deh, hakz! Tpi, kasian mamah, papah, adikku juga, tapi kakakku
yg satu ini gag usah, biarin aja dia ngontrak di planet mars, habisnya
cerewet sih, hihihi kasian.. hhmm
Pokoknya, dunia
serasa hanya milik aku, mamah, papah, adik, dan juga super Squadku
tercinta.
Tiba-tiba.. “heh
bocah, senyam senyum aja, durhaka yah! Kakaknya lagi ngomong malah asyik
dengan dunianya sendiri, dasar bocah settrreess!!!” Akupun kaget tersadar
dari lamunan indahku, namun sunggingan senyum masih tersisa di bibir
manisku (yuuuhhuu manis niye)
“payah, si kakak
ganggu aja nih, padahal kan lagi seru-serunya, lagi romantis-romantisnya”
pikirku dalam hati. “ya udah sana, masuk kamar!” seru ka fitri “yeeaahh,
bebas!!!” teriakku dengan suara melengking bak terompet yang siap
memekakkan telinga, kak fitripun kaget bukan kepalang, ups.. sebelum kena
semprot, Kabuuuurrrr,,, akupun segera berlari meniggalkan ka fitri. Ka
fitri hanya sempat
menggeleng-gelengkan
kepala seraya bergumam “Dasar Bocah Setrreesss!”
Hello readers, nama aku Faradilla
Cantika, orang-orang biasa manggil aku Cantika jadi panggil aku cantika
juga yah, sama dengan wajah aku yang Cantik, Imoet, dan manis, maklumlah,
keturunan arab indo *pasang wajah semanis mungkin* (wahh, KePeDean Atuhh
neng hihihi) aku ngefans banget sama Super 9 Boys, apapun akan kulakukan
demi Super 9 boys tercinta, tapi sayang kakakku gag setuju banget aku
ngefans sama super 9 boys, katanya norak lah, alay lah, gag pentinglah,
inilah, itulah, capek aku dengarnya! Fiuuhh *usap peluh di dahi* tapi
walaupun di tentang namun jiwaku maju tak gentar melawan para penentang!
(Hihihi kayak pejuang aja neng). Ups, kepanjangan kali perkenalannya, next
Cerita
“cantika.. can... cantika.. sarapan
dulu, di tungguin tuh sama papa mama”, “iya.. iya.. bentar lagi!” jawabku
kearah panggilan di balik
Pintu kamar.
5 menit kemudian... “Ya Tuhan, Si
anak Bandel, di panggilin sarapan daritdi malah asyik maen twitter, papa
mama udah mw berangkat kerja tuh!” kulihat air muka geram, kesal, tampak
di wajah ka fitri. “O’ow,, peace ka” kataku sambil tersenyum semanis
mungkin penuh rayu kearah ka Fitri. “gag mempan aku dengan senyummu itu,
sekarang cepat simpen ipad, d tungguin sarapan! Seru ka fitri sambil
berlalu pergi. “hufh, kirain ka fitri mau ngomel berseri lagi” gumamku
bernafas lega sambil melangkahkan kaki menuju tempat dimana aku sekeluarga
akan menyantap hidangan sarapan pagi bernutrisi buatan mama.
Teet..teeet..teet..
1 message from 9besties_Adel
Pagi Can..
Hari ini boys perform
Keep stay tune d depan TV yah ^_^
#Salam ACDC
Akupun segera beranjak dan
melangkahkan kaki kecilku menuju tempat dimana aku dan keluarga kecilku
melepaskan gundah menyaksikan tayangan-tayangan menarik lewat layar kaca.
“ka fitri, ganti channel yah? Kakak gag nonton lagi kan?” tanyaku sedikit
bernada rayuan. “mang maunya nonton apa can?” “hhhmm, itu kak, aku mau
nonton konser sejuta cinta” jawabku.
“waduw, mau lihat si orang alay itu
lagi ya? Gag bosen apa?” kata kak fitri dengan nada sinis. “hhmm, mana ada
bosennya kak, kalo super squad yang perform” terangku. “gag ada, nonton
sana d tempat lain” jawab ka fitri. Akupun tak mau nyerah gtu aja,
berulang kali ku rayu dan kurayu ka fitri hingga jam menunjukkan pukul
10.30 WIB. “tuh kan kak, konsernya udah mau dimulai! Ayo dong kak?” rayuku
skali lagi. “bodoh amat. pokoknya gag, udah cukup kamu rusakin TV di kamar
kakak gara-gara idola kamu yang gag jelas itu! Sadar dong neng, apa
mereka pernah ngasih perhatian besar ke kamu sementra kamu
mati-matian ngasih perhatian ke mereka, enggak pernah kan? Mereka gag
pernah peduli sama kamu, terutama sama kondisi kamu yamg makin parah
Cuma gara-gara mereka, tahu kamu siapa juga enggak!” seru ka fitri.
Akupun terdiam membisu, tanpa sadar kata-kata ka fitri telah menusuk
sukmaku, menyentuh bagian hati yang paling sensitif sehingga membuat butiran-butiran
air mata tak mampu lagi di tampung oleh kedua kelopak mata, tumpah ruah
membasahi pipi.
Akupun segera
bergegas meraih kunci mobil di atas meja kerja papa.
“mau kemana can?”
“cantika kerumah Adel dulu ya ma!” jawabku kepada
Wanita separuh
baya yang berdiri tepat di hadapanku sambil berlalu pergi. Wanita yang ku
sebut sebagai mama itu hanya bisa terdiam dan menataku penuh tanda tanya.
Mobilpun melaju
meyusuri keramain kota dengan kecepatan yang cukup membuat semua pengguna
jalan was was. Bak mas komeng melesat membuat para pejalan kaki
acak-acakan. Hihihi “ya tuhan, mudah-mudahan performnya belom selesai,
sempatkan aku! Ayo dong..” gumamku.
Teett..teet...
teeett
1 message from
9besties_Adel
Kamu dimana can?
Jadikan ke rumah aku?
Udah mw segmen 5
nie,, bentar lagi boys perform dengan singel favorite
kamu SSS,
buruaann.
#salam ACDC
Jantungku terasa
berdegup kencang, ada sesuatu yang luar biasa kurasakan, semakin bergetar
hebat, semakin khawatir kalo nantinya gag bakal sempat lihat perform boys.
Fikiran dan konsentrasiku terfokus pada bayang-bayang message dari Adel,
akhirnya Kucoba membalasnya sesegera mungkin untuk mengobati rasa cemasku,
Namun apa yang terjadi, tiba-tiba di depan tampak sebuah mobil truk melaju
tepat searah denganku, kupalingkan stir mobil namun sebuah pohon
menanti keberadaanku dan aaaaagggggrrrhhhh.... Brruukk!! Sontak sakit
yang terasa hebat memenuhi ruang di kepalaku , menembus alam bawah
sadar sehingga aku tak tahu lagi apa yang terjadi selanjutnya.
“Apa yang terjadi?
Mau kemana mereka?” pikirku, ditengah kerumunan berjuta manusia yang terus
melangkah maju mengikuti seberkas cahaya, walau daya piikirku kalut akan
beribu tanda tanya namun kaki kecilku tetap melangkah maju di tengah berjuta
manusia. Tiba-tiba, “cucuku..” langkahku terhenti, kupalingkan tubuh,
kudapati sosok wanita bertubuh kurus, keriput menghiasi wajah yang
tersenyum manis kearahku.
“nenek!!!”
panggilku. Ingin rasanya kuraih dan kupeluk erat tubuhmya namun ada sesutu
yang terasa membebani langkahku sehingga aku hanya bisa terdiam membisu.
“belum waktunya kau ikut cucuku”. Ucap wanita tua yang ku panggil nenek
itu. Bingung, resah, gelisah, bercampur memenuhi ruang di jiwaku, “apa
yang terjadi? Tidak..aku tak tahu ini dimana, aku tak tahu apa yang harus
kulakukan, aku mau ikut nenek!!!” teriakku sesaat setelah nenek pergi
meningglkanku.
Tiba-tiba ada sesuatu yang medorong
kedua kelopak mata ini terbuka secara berlahan, ingin rasanya kubangkit,
namun beban sakit yang menindih sekujur tubuhku membuatku tak mampu untuk
beranjak dari posisi sabelumnya. Kutengok sekeliling, tampak seorang
wanita paruh baya duduk disamping ranjang tempatku terbaring lesu.
“anakku!! Kamu sadar nak!” ucap lirih wanita itu sambil meneteskan butiran-butran airmata.
Yah wanita itu adalah wanita yang kerap ku panggil mama. “ma, cantika
ketemu nenek! Cantika ingin ikut nenek!!” seruku seketika.
“cantika! Nenek udah gag ada nak,
itu hanya mimpi kamu, kamu gag boleh ikut nenek, kamu gag boleh tinggalin
mama, kamu harus tetap disini sama mama sayang” balas mama sambil terisak.
Kutatap wajah itu, wajah yang semakin dekat yang hendak memeluk tubuhku.
“mama.. maafin cantika ya ma? Selama ini cantika sering nyakitin mama,
cantika sering buat mama sedih, cantika janji tak akan buat mama nangis
kecewa gara-gara cantika lagi!” “iya sayang, mama juga minta maaf selama
ini gag bisa sepenuhnya jagain cantika”. Kata mama sambil mengusap lembut
kepalaku
Tiba-tiba dari balik pintu muncul 3
sosok yang sangat kurindukan, papa, ka fitri dan arga adikku. Aku bahagia
berada ditengah-tengah kebahagiaan mereka saat ini. Yahh, hanya merekalah
sesuatu yang sangat berharga dalam hidupku.
“cantika sudah
melewati masa kritisnya selama 6 bulan, sekarang kondisinya sudah mulai
membaik, namun bukan berarti boleh pulang, cantika masih perlu pengawasan
dan perawatan medis melihat kondisi penyakitnya saat ini setelah kejadian
beberapa waktu lalu” kata dokter sesaat setelah memeriksa kondisi
kesehatanku. “tapi aku boleh keluar sebentar kan dok?” tanyaku. “iya,
cantika boleh keluar sebentar, tapi ingat, gag boleh kecapean yah, kalau
urusannya dah selesai cepat balik ke rumah sakit! ok?” ssiiaaaapp om
dokter!” hihi balasku sambil melemparkan senyum termanisku kearah sang
dokter. “emang mau kemana can?” Tanya papa. Akupun tersenyum dan menjawab
“cantika mau ngelive di salah satu acara musik pa, ma, izinin cantika
pergi yah? Sekali aja, cantika janji ini yang terakhir kalinya cantika
memohon”. Suasana hening sejenak, tiba-tiba “iya, tapi kamu tak sendirian
ada papa, mama, arga, sam ka fitri akan nemenin kamu!” kata papa membuat
ku sangat bahagia dan segera memeluk sosok papa yang sangat
kusayangi itu. “makasih papa” ucapku. “iya. Sama-sama sayang, sekarang
cepet siap-siap” balas papa. Akupun segera beranjak dan memersiapkan
diri untuk pergi kesuatu tempat dimana aku akan bertemu dengan super
squad, dengan 9 pangeran super yang selma ini kurindukan, pangeran
yang selama ini mengisi setiap keindahan dalam jiwaku.
Sumpah demi apa,
aku merasakan kebahagiaan yang luar biasa ketika impian terbesarku untuk
bertemu dan melihat secara langsung 9 pangeran super di atas panggung.
Sesaat setelah
perform ku coba melangkahkan kaki mengikuti orang-orang yang tengah
berlari menghampri mereka, yah, mereka yang sangat ku sayangi, mereka 9
pangeran super yang selalu mengisi indahnya taman sejuta mawar di alam
mimpiku, mereka yang selalu menjadi inspirasi, mereka yang selalu menjadi
semangat hidupku. Namun sejenak langkahku terhenti, kulihat betapa tak
sedikit 9besties yang juga berebut menghampiri mereka, ada sesuatu yang
terasa menarik ulur niatku untuk bertemu dengan mereka, aku takut kalau
saja mereka akan terganggu dengan keberadaanku, “heemmmm, apa yang terjadi
dengaku” pikirku.
Tiba-tiba
jantungku semakin berdegup kencang, ketika kulihat sosok yang berdiri
kira-kira 3 meter dariku sedang asyik tertawa bersama beberapa 9besties,
yahh, itu si pangeran Super Green, dady Kelvin Kokasih, aku memang
menyebutnya sebagai pangeran Super Green, karena Dady Kelvin lah yang memiliki
sedikit kemiripan denganku yaitu pencinta hijau dan kodok-kodokkan.
Tanpa sadar
airmata menetes, perasaan haru dan bahagia menyelimutiku, aku bahagia
walau hanya menatap mereka dari kejauhan, aku bahagia melihat senyum indah
mreka, aku bahagia bisa berada dekat dengan mereka walau mereka tak
pernah meyadari keberadaanku, aku bahagia karena mereka telah
menjadi bahagian dari mimpi indahku. Walau aku tak punya keberanian
untuk menghampiri. Larut dalam kebahagiaan, keindahan mimpi dan
khayal sehingga sesuatu kembali menembus alam bawah sadarku, cukup
membuatku merasa tak lagi mengetahui apa-apa.
Kurasakan usapan
hangat di kepalaku, perlahan kucoba membuka kedua kelopak mata, hendak
memastikan siapakah itu. Jiwaku sontak kaget, bahagia yang luar biasa
kurasa ketika kudapati sosok pangeran super Green duduk dan mengusap
lembut kepalaku yang tengah terbaring lesu.
Kulirik
sekeliling, tampak mereka, yah, mereka yang selama ini menjadi impianku
tersenyum manis kearahku. “cantika! Kamu sadar!” seru seseorang yang
muncul dari arah belakang Kak Kelvin, yaah, itu ka Nico, dia tersenyum dan
menghampiriku. “cantika, kamu bertahan yah, kakak yakin kamu pasti bisa
melewati sakit ini, cantika kan anak yang sabar!” kata ka kostario, “iya,
kalo cantika lama sembuhnya, cantika bakal lama juga gag ngeliat kerennya
jambul super kakak, atau gaya rambut terbaru kakak, kriwil unyu” kata ka
tyo menimpali. Akupun tersenyum, wah, si kak tyo bisa aja narsisnya. Hehe.
“cantika, maksih yah, cantika adalah semangat kami, jadi cantika juga
harus semangat dong, kami semua sayang cantika” ucap ka steven. Sekali
lagi aku tersenyum bahagia, terharu sehingga tanpa sadar menitikkan air
mata, kulihat tetesan air mata itupun juga keluar dari balik kelopak
mata mereka. “udah, jangan nangis, cantika kuat!” seru ka imam
seraya menghapus tetesan air mata yang jatuh membasahi pipiku. Ingin
rasanya kuucapkan sesuatu kepada mereka namun bibir ini tak kuasa
lagi berucap, ingin kupeluk erat mereka, namun tubuh ini tak kuat untuk
di gerakkan, sakit luar biasa mulai menyerang kepalaku, nafas tak
mampu lagi kuhela secara sempurna, sesak, sakit yang kurasa teramat
sangat memenuhi sakujur tubuhku. Terus dan terus kursakan sehingga
membuat jantungku semakin melemah, aku tak kuat lagi.
Tiba-tiba, semua
sakit yang kurasa hilang seketika, akupun bangkit dari posisi terbaring,
namun kulihat mereka malah makin tampak sedih, meneteskan airmata, aku
bingung, kucoba sentuh tangan pasha, namun aku kaget bukan main, aku tak
bisa menyentuhnya, kucoba kembali untuk menyentuh kak kelvin, kak
kostario, kak, tyo, hingga seterusnya, namun aku kembali tak dapat
menyentuh mereka, aku semakn tak mengerti dengan keadaanku. Kucoba
menghampiri mama papa yang berlari kearahku sambil terisak. “mama, papa,
cantika udah bisa bangun!” seruku. Namun nampaknya mereka tak mendengarkan
seruanku, mereka terus saja berlari melwatiku, aku semakin tak mengerti,
ku coba palingkan tubuhkan. “siapakah itu?” tanda tanya besar hadir di
kepalaku. Kucoba dekati mereka, “oh tuhan,, ini tidak mungkin!!” Kudapati
sosok yang sangat mirip denganku terbujur kaku, aku terdiam membisu
menatap mereka, mereka sosok yang sangat kusayangi terisak memeluk tubuh
itu, tubuh yang terbujur kaku, super Squadku, papa, mama, adik, semua
tampak merasakan duka yang teramat dalam.
Bebrapa saat
kemudian, muncul kak fitri dari balik pintu, mendekati super squadku,
hendak menyerahkan sesuatu. “ini kutemukan dilaci meja belajar cantika”
kata ka fitri. Yaaah, aku baru sadar kalau sesuatu yang d berikan ka fitri
kepada super squadku adlah sebuah diary, dimana diary itu adalah tempatku
mencurahkan segala unek-unek yang ada dalam pikiranku.
Kak kostario
membuka lembaran demi lembaran dari diary milikku, tampak foto-foto lucu
dan keren mereka menghiasi awal lembaran, namun tiba-tiba terhenti pada
sebuah lembaran yang berisi tulisan.
Hello 9 pangeran
superku!
Semoga kalian
disana baik-baik saja, ^_^
Hari ini, entah
kenapa cantika tiba-tiba merindukan kalian, cantika ingin sekali
mewujudkan mimpi terindah cantika untuk bisa bertemu kalian semua. Cantika
sebenarnya ingin sekali dekat dengan kalian semua yang sangat cantika
sayangi. Namun cantika sadar, cantika bukan siapa-siapa, dengan melihat
kalian tersenyum cantika udah seneng walau emang senyum itu bukan untuk
cantika sih, hihihi.
Super squadku,
maafin cantika yah, cantika gag bisa ngelive setiap perform kalian, karena
cantika tak pernah di izinin sama mama papa, terlebih kakak cantika,
karena kondisi cantika yang emang gag memungkinkan, cantika agag kesel
sih, kenapa harus cantika yang di pilih tuhan untuk merasakan penyakit
ini, sehingga cantika gag bisa ketemu kalian, cantika sedih banget, maafin
cantika yah! ^_^ 9 pangeran superku.
Di sisa akhir
hidup cantika ini, cantika mau melakukan apapun untuk kalian smua, cantika
ingin berbuat untuk kalian. Cantika sayang kalian, walau cantika sadar
cantika gag berarti apa-apa di mta kalian, mention cantika di twitter
emang selalu di cuekin, kalian emang gag kenal siapa cantika, namun
cantika tetap sayang kalian, doa cantika tetap selalu untuk kalian. Walau
akhirnya kanker otak ini akan merenggut nyawa cantika, jangan lupakan
cantika yah?
Semangat super
squadku..
Kak
kostariopun menutup diary yang telah di bacanya, mereka menghampiri sosok itu.
“cantika, maafin kita semua, kita semua sayang kamu” beberapa saat kemudian kak
kostario mendekat dan mencium kening raga itu, disusul oleh kedelapan
sahabatnya. Akupun bahagia melihat moment tersebut.
Tiba-tiba. “cantika! Sudah saatnya
kamu ikut nenek!” seru wanita tua yang tiba-tiba muncul di sampingku. Akupun
tersnyum kearah nenek, menggengam tangannya dan ikut, bersama menempuh
perjalanan panjang mengikuti seberkas cahaya.
Pipitriyana
@pipitbesties
Posting Cerpen lagi dong, Admin... Apalagi cerpen yg pemeran ny Super9Boyz / S9B... Plisss... Aku tunggu ya... :D <3
BalasHapus