Fans Fiction Story (FFS)


CERPEN - CERPEN KARYA BBILOVERS!

- Kau yang Kurindukan -

Hampir setiap orang yang hadir disana bergantian memandang Za. Mereka yang menangkap sosok gadis itu pastilah menyempatkan diri sejenak minimal sekedar untuk memandang lekat kearah wajahnya. Mereka mengamati dengan dahi berkerut dan diam-diam menyimpan rasa penasaran atas ekspresi wajah gadis itu. Atau tak jarang mereka akan berbisik-bisik dengan orang lain di kanan kirinya, menanyakan siapa gadis itu dan mengapa ia terus tersenyum? mereka merasa heran melihat Za tak pernah menanggalkan sunggingan di bibirnya itu. Terus, dan tetap tersenyum, dalam diam. Padahal pada saat itu tak ada seorangpun yang sedang bertingkah lucu menghibur gadis itu. Tak ada juga sesuatu yang lucu di sekitarnya.  Bahkan lebih tepatnya, tak ada seorangpun yang mengajak gadis itu bicara. Namun, Za tak pernah sekalipun berhasrat untuk menarik senyum terkulum dari bibirnya itu.
Za menatap sosok itu lekat-lekat, sementara orang-orang di sekitarnya memandang dirinya dengan penuh tanda tanya. Ia memandanginya seolah tak ingin waktunya sedetikpun terbuang sia-sia. Waktu yang tak akan pernah ia lupakan seumur hidupnya, dan akan terus ia kenang dan ia rindukan. Menatap setiap detail dalam sosok itu. Dengan senyum…..dalam diam…..dalam tangis bisu…
---------------------------
Jakarta 07 Juli 2009
Ia mencoba menelusur kearah titik yang dipandang oleh laki-laki yang sedang tersenyum itu. Rasa penasaran membuatnya ingin tau apa yang sejak tadi menarik perhatian orang itu sehingga tak sedikitpun mengalihkan perhatiannya dari sana, terus memandang dengan senyum yang membuat wajah itu tampak begitu manis.
Gadis itu diam tertegun. Telusur matanya terhenti pada tembok putih tanpa ornament atau hiasan apapun. Ia bingung memandangi tembok itu. Berpikir. Mencetak lipatan-lipatan halus di kening.
Inikah yang sejak tadi menarik perhatian orang itu?
Ia kembali menatap mata itu, wajah itu. Mata yang terus memandang tembok itu dan wajah yang teduh dengan senyum yang tak sedikitpun surut. Sekali lagi ia mengamati tembok itu. Memastikan sekali lagi memang benar fokus yang ia pandang sama dengan yang dipandang oleh orang itu. Namun, seperti apapun ia memfokuskan pandangannya, tetaplah ia tak menemukan sesuatu hal menarik yang mungkin bisa membuat seseorang tersenyum ketika memandang tembok polos tersebut. Lipatan di dahinya semakin bertumpuk-tumpuk dengan kebingungan yang semakin menjadi.
Kembali ia memandang wajah itu. Tak berubah. Manis. Tetap seperti sedia kala. Dengan senyum, dalam diam….
-----------------------------
Jakarta 9 april 2009
Detikan jarum jam terdengar seolah menggema di ruangan yang luas itu. Baru jam 9 tetapi suasana seolah seperti lewat tengah malam. Tak ada suara TV, dan tak ada suara berisik Harrimand yang biasanya selalu menggemakan musik bervolume besar dari dalam kamarnya jika sedang nge dance atau bernyanyi tidak jelas. Atau tak ada gaduh adu mulut antara Za dan kakaknya itu kalau Za mulai mengambil alih kuasa atas remote TV yang sejak setelah isya’ pasti berada di bawah tawanan Harrimand.
Za berdiri termangu di depan rak kaca yang berdiri angkuh membelakangi tembok. Memandangi deretan belasan bingkai-bingkai beraneka bentuk yang berisi wajah-wajah berbagai ekspresi. Pandangannya tertumpu pada salah satu bingkai sederhana berwarna coklat berserat seperti batang pohon yang berpadu di antara figura-figura lainnya.
Ia baru saja kembali dari dapur setelah meletakkan cangkir bekas susu coklat hangat di tempat cuci piring. Perlahan langkahnya yang semula cepat karena ingin segera beranjak tidur sontak melambat saat sudut matanya menyapu rak kaca yang ia lewati itu. Dan akhirnya menghentikan langkahnya tepat saat pandangannya terhenti pada sebuah bingkai yang sekarang ia pandangi lekat-lekat.
Tangan Za perlahan menggeser pintu kaca yang melindungi deretan-deretan bingkai foto itu. Memberikan sedikit ruang bagi tangannya untuk masuk dan meraih salah satu figura yang dipandangnya sejak tadi. Za berdiri tertunduk memandangi wajah-wajah yang terpetakan jelas dalam figura di tangannya.
“Kak….cepet pulang….”
Cairan di pelupuk itu mulai menggenang. Melihat mata belo Harrimand membulat bersama cengiran di foto itu membuat rasa kesepian Za yang ditinggal sendirian di kontrakan besar itu untuk 5 hari karena show di luar kota mendadak membuncah. Ia mengelus-elus peta wajah kakaknya dengan telunjuk kirinya. Tidak adanya Harrimand di rumah memberikan efek yang cukup besar bagi dirinya. Tak bisa mendengar ocehan kakaknya yang berisik tapi bisa membuat dirinya tak merasa kesepian. Tak bisa mendengar saran atau nasihat konyol menanggapi curhatannya tapi bisa membuatnya tertawa lepas bahkan saat matanya menangis. Tak bisa melihat kelakukan-kelakuan usil kakaknya yang menjengkelkan tapi sekarang sangat ia rindukan. Terlebih disaat ia sedang terpuruk dalam masalah seperti sekarang.
Sontak gerak telunjuknya terhenti saat pandangannya bergeser pada sosok di sebelah Harrimand. Dua orang yang saling berangkulan. Mengacungkan ibu jari tangan masing-masing dan tersenyum lebar pada kamera.
Za mulai terisak. Tak bisa ia bayangkan seperti apa tour 3 kota yang sedang mereka lalui selama 5 hari ini. Bodoh jika ia dengan polosnya membayangkan mereka baik-baik saja seperti biasanya. Bertanya-tanya dalam hati sendiri apakah dia yang telah menghancurkan semuanya. Apakah dia penyebab rusaknya hubungan persahabatan mereka.
Tapi, mungkin bukan hanya rasa bersalah yang mengundang tangisnya. Perasaan sakit hati dan penyesalan karena pada akhirnya ia benar-benar harus kehilangan Icha turut andil dalam mengundang lelehan yang menganak sungai di pipinya itu. Laki-laki yang sangat ia cintai itu bahkan sudah tak mau lagi bertatapan mata dengannya. Ia selalu menghindar seolah merasa muak dengan kehadirannya. Membuat hati yang masih dipeluk erat oleh cinta itu sekarang justru merasa sesak karena terhimpit oleh perasaan cinta yang memeluknya.
“Kak…..”
Badan Za melorot turun. Tertahan ia berbisik menahan perasaan yang begitu kalut. Za duduk berjongkok menatap lantai memeluk bingkai foto yang memancing tangisnya itu. Ia merindukannya. Merindukannya….sangat merindukannya…
Tiba-tiba sekelebat bayangan terlintas di otaknya. Membuat Za seolah tersengat oleh listrik yang kontan menyadarkan dirinya akan sesuatu. Za tertegun menatap kosong. Menyadari sekilas pertanyaan yang baru saja mampir di pikirannya.
Merindukannya?
Za mendengungkan kembali pertanyaan itu. Lalu mencoba menjawabnya. Lama….
Merindukannya?
Siapa yang dirindukannya?
Za menatap kembali bingkai foto di tangannya. Mengamati kembali dua orang yang saling berangkulan itu. Menyadari kejanggalan di otaknya, di pikirannya, di hatinya.
Siapa yang dirindukannya?
Sekali lagi Za menatap lekat dua orang yang saling berangkulan itu. Menatap senyum mereka masing-masing. Senyum yang tak bisa ia temukan lagi untuk saat ini. Bergantian dua wajah itu berlalu lalang di pelupuk mata gadis itu.
Siapa yang dirindukannya?
Icha?  Seseorang yang dicintainya sejak dua tahun terakhir? Yang menjadi tag “in relationship with” di fbnya selama satu setengah tahun belakangan? Yang membuat kelopak matanya membengkak setelah menangis semalaman usai menyadari mereka tak mungkin bersama lagi?
Atau….
Alam? Yang selalu melingkupi hari-harinya dengan senyuman mendamaikan dan memanjakannya dengan tawa keceriaan saat bersamanya? Yang selalu ada saat dia sedih dan tak pernah ia lupakan saat ia senang? Orang yang membuatnya terdiam pasrah saat ciuman hangat itu menyentuh bibirnya, menjadi asal-muasal perkelahian 5 hari yang lalu dan menjadi salah satu penyebab utama kesendiriannya sekarang?
Siapa yang dirindukannya?
Za terpaku menatap wajah-wajah itu. Matanya melebar. Tak lagi meneteskan bulir-bulir bening. Kini hanya tertegun menyadari pertanyaan tanpa jawaban itu. Pertanyaan yang sepantasnya bisa ia jawab dengan mudah, namun tanpa ia sangka justru menyadarkan bahwa ternyata hatinya tak hanya terpaku pada satu orang. Hatinya mendua….
----------------------
Jakarta, 3 April 2009
Za masih berdiri kaku menghadapi sosok yang juga terfokus menatap titik lain di kejauhan. Entah apa yang dipandang oleh laki-laki itu, dan entah apa yang ia pikirkan. Rasa dingin mulai menyergap kaki gadis itu setelah hampir 10 menit tampias air hujan terpercik-percik membasahi bagian bawah celana jeans nya. 3 jengkal di sebelah kanannya guyuran deras air menghantam tanah yang menyeruakkan bau khas musim penghujan. Emperan sempit depan kios yang sudah tutup itu tak cukup membuat badan mereka berdua sepenuhnya terlindungi.
Sepertinya sosok di depan Za masih juga terdiam. Kalaupun dia berkata lirih pantaslah jika Za tak mendengar karena deru hujan lebih berisik melingkupi mereka. Za juga tak tahu seperti apa ekspresi wajah orang itu sekarang. Ia hanya terus tertunduk. Dalam. Za merasa mungkin akan lebih baik jika ia berdiri di bawah hujan sekalian. Karena dengan begitu guyuran air hujan akan mengaburkan jejak air mata di wajahnya.
Tak ada yang mau bersuara. Masing-masing sama-sama kukuh dengan diamnya. Bahkan Za seolah tak ingin menampakkan gerak diafragmanya saat bernafas. Begitupun dengan orang yang memalingkan wajah di depannya itu. Ia bak patung buatan pemahat termasyur yang berdiri angkuh di etalase pameran seni. Dingin, dan kaku.
Tangan Za terkepal menjawab hatinya yang sejak tadi bertanya-tanya sampai kapan mereka harus terjebak dalam situasi seperti ini. Perlahan Za menggeser bola matanya yang sejak tadi tertuju pada ujung sepatunya sendiri yang basah dan dihiasi titik-titik kecoklatan karena cipratan air hujan bercampur tanah.
Pandangannya mulai menelusur pelan. Berawal dari ujung kaki sosok di depannya, terus merangkak naik, penuh keragu-raguan. Menelisik dua kepalan tangan yang menahan amarah mempertontonkan gurat otot-otot yang mengejang. Bergulir menyapu punggung yang bergetar naik turun sisa-sisa baku hantam barusan. Dan terhenti terpaku pada wajah yang terpaling dengan rahang-rahang yang mengeras membekam luapan emosi. Mata Za kembali berkabut tebal begitu pandangannya menangkap memar-memar kebiruan di sekeliling bercak darah mengering yang tampak dari sudut bibir laki-laki di depannya.
Rasa panas di pipi Za terasa semakin membara ditambah oleh lelehan hangat air matanya setelah menatap wajah yang seolah jengah melihatnya itu. Bekas tamparan 20 menit yang lalu serasa tiba-tiba kembali merangkak menelusup pori-pori kulitnya. Meruamkan rona merah di pipinya, semerah matanya yang sudah tak kuasa menahan tangis.
Bukankah seharusnya dia marah? Bukankah dia juga disakiti? Bukankah sosok di depannya itu pun sudah tega memembuatnya menangis? Tapi kenapa hatinya seolah tak peduli lagi dengan semua itu. Kenapa hatinya tidak marah? Kenapa hatinya tidak berontak? Kenapa ia hanya diam membiarkan semua itu luruh dan terlupakan? Kenapa ia justru mengharapkan orang di depannya memaafkan kesalahannya dan mau menatapnya kembali. Kenapa ia begitu takut kehilangannya? Kenapa?
Dan kebekuan itupun terpecah seketika saat Icha beranjak dari kediamannya. Tanpa berujar sepatah katapun ia melangkah gamang melewati Za begitu saja, menembus guyuran dingin curahan langit. Beranjak dari atap emperan yang meneduhi mereka. Menghilang dari pandangan Za yang baru saja memberanikan diri menatapnya. Membuat mata Za yang masih tertuju pada wajahnya sontak kehilangan obyek. Digantikan oleh udara hampa yang berbauran bersama serdadu-serdadu air hujan.
Za memutar badannya mengarah pada sosok yang baru saja meninggalkannya. Memandang punggung yang sudah semakin menjauhi dirinya. Berdiri kaku bersiap terisak menyadari kata damai yang ditunggunya hancur lebur bagai debu yang terbawa angin, terpisah jauh dan tak mungkin lagi disatukan satu sama lain.
Gadis itu mulai terisak. Membungkam mulutnya sendiri meredam suara memilukan mewakili jeritan hatinya yang untuk mengatakan “jangan pergi” pun sudah tak sanggup. Terisak memandang tubuh yang menghilang di balik rimbunnya air hujan dan kelok jalanan, pergi entah kemana meninggalkan Za yang masih mencoba berdiri tegak.
Sosok itu sudah lama menghilang. Meninggalkan Za yang masih menatap kosong ke kejauhan. Meninggalkan Harrimand yang sejak tadi mencoba tetap berdiri di seberang jalan dan tidak ikut campur dulu dengan urusan adiknya dan sahabatnya itu. Diam sembari menahan sedikit perih akibat pukulan nyasar di pelipis kirinya saat berusaha menghadang baku hantam antara dua sahabatnya.
 Bergantian Alam memandang Za yang terisak dan juga jalanan kosong yang baru saja dilalui Icha. Ia memandang mereka sembari sesekali mengusap rembesan darah di ujung bibirnya yang pecah karena hantaman kepalan punggung tangan Icha. Tangannya terkepal. Menyadari bahwa dirinya adalah salah satu yang harus bertanggung jawab karena telah merenggut senyum dari gadis yang dicintainya itu. Berandai-andai kalau saja tempo hari dia tidak lancang mencium pacar sahabatnya itu, pastilah mungkin akan ada jalan bagi mereka untuk saling memaafkan satu sama lain. Tidak perlu membuat gadisnya bersedih seperti sekarang. Tangannya kuat terkepal. Menatap gadis itu terisak memandangi jalanan kosong yang sudah ditinggal jauh oleh MANTAN kekasihnya.
-----------------------------------
Jakarta 2 April 2009
Alam masih berdiri bersandar di pohon palm besar itu. Ia tetap bertahan dalam posisi yang sama. Menyedekapkan kedua tangan memandangi punggung gadis yang bergetar naik turun tak jauh di depannya. Hanya memandang, sambil sesekali menendang-nendang pelan udara hampa untuk mengusir rasa pegal di kakinya setelah bermenit-menit berdiri.
Bukannya mendekat dan menenangkan gadis itu, tetapi ia lebih memilih membiarkannya melampiaskan rasa kesal, sedih, kecewa dan marah dalam tumpahan air mata. Membiarkan gadis itu duduk memeluk lutut dan membenamkan wajah dalam isakan yang mampu ia dengar dengan jelas.
Ia mengerti pasti Za sedang ingin menangis sepuasnya setelah apa yang ia lihat di café tadi. Kecewa karena pesan yang seharian tidak dibalas, kesal karena telefon berkali-kali yang tidak diangkat, kesal karena janji merayakan ulang tahun bersama pada akhirnya diingkari, dan di atas segalanya, yang paling menyakitkan adalah kesal karena dikhianati. Tepat di hari ulang tahunnya, entah sengaja atau tidak. Jangankan kado istimewa yang ia dapat dari sang pacar, namun justru potret jelas yang tertangkap langsung oleh matanya. Potret mesra orang yang dicintainya itu bersama sahabatnya, Arum.
Za yang ketika itu tengah berjalan bersama Harrimand dan kawan-kawan di sebuah mall tentu saja langsung berdiri kaku karena tanpa sengaja sudut matanya menangkap bayangan kemesraan Icha dengan perempuan lain yang tak lain adalah Arum, sahabatnya yang baru 3 jam sebelumnya mengatakan maaf tidak bisa menemani merayakan ulang tahun karena harus mengantarkan neneknya check up ke dokter.
Marah, pasti. Kesal, tentu. Wajah Za yang memang sejak berangkat sudah tertekuk tujuh pun sontak berubah merah, menahan tangis yang sesungguhnya sudah tak mungkin dibendung lagi. Secepat kilat Za berpaling jengah dari pemandangan di kejauhan itu dan dengan emosi meluap ia hendak melangkah pergi.
 Alam hanya bisa pasrah saat Za yang wajahnya sudah memerah padam tiba-tiba menggandeng tangannya dan menariknya pergi dengan mata yang sudah basah. Meninggalkan Harrimand, Lucaz dan Bagus yang tercengang bingung bergantian menatap dua pemandangan kontras itu. Icha dan Arum yang begitu santai menikmati makan siang sembari bercengkerama mesra, sementara di sisi lain Za terus melangkah sembari menutupi separuh wajahnya dengan tangan agar tangisnya tak mengundang perhatian. Di belakangnya, Alam terseok mengikuti langkah Za yang menariknya cepat.
Dan disinilah ia sekarang. Berdiri hampir sejam di atas bukit kecil berdebu yang agak gersang ditumbuhi rumput tipis dan diselingi beberapa pohon palm. Diguyur hangat mentari senja yang sudah tak punya daya untuk menyengat kulit. Menunggui gadis di depannya hingga puas menangis.
Barulah setelah bermenit-menit membanjiri wajahnya dengan serdadu-serdadu bulir hangat yang berarakan rapat menelusuri lekuk pipinya, Za perlahan mengangkat wajahnya. Membiarkan ruam-ruam hangat mentari senja beradu dengan panas di matanya yang terasa menyipit. Melempar pandang jauh ke depan. Menyapu hamparan lapangan sepakbola di kejauhan dan kelok-kelok jalanan yang tampak menjuntai mengelilinginya.
Masih dengan sisa-sisa isakan Za menoleh ke belakang, perlahan. Mendapati laki-laki itu masih berdiri bersandar di pohon memandanginya. Tak sedikitpun merubah posisi maupun ekspresi saat tatapan mereka beradu. Masih tetap berwajah teduh, dan tersenyum.
3 detik Za menatapnya lalu kemudian kembali melempar pandang jauh kedepan. Perlahan tangannya terangkat mengusap pipinya dengan punggung tangan. Membersihkan dagunya dari sisa-sisa gumpalan air yang sudah menggunung bersiap jatuh.
“Kak Alam kenapa masih disini?”
Sengaja Alam memberi sedikit jeda sebelum menjawab pertanyaan itu.
“Kan kamu yang ngajak.”
Sejenak Za mengatur nafas. Menyadari pertanyaan bodoh yang seharusnya tidak perlu ia tanyakan. Harusnya dia tahu bahwa Alam tak mungkin pergi meninggalkannya begitu saja setelah ia menarik paksa tangannya tadi. Ia tahu pasti Alam akan menunggunya berhenti menangis bahkan bila perlu sampai tengah malam pun laki-laki itu tetap akan berdiri disana menemaninya.
“Aku udah nggapapa kok. Aku masih pengen disini. Kak Alam kalau mau balik duluan juga nggapapa.”
Masih terdengar sisa-sisa getaran di sela-sela suara Za.
“Oh, jadi kamu cuma jadiin aku pelarian aja nih tadi?”
Deg! Za reflek menoleh dan menggeleng cepat, membiarkan air matanya terkibas-kibas ke kanan kiri.
“Bukan! Bukan gitu kak. Aku beneran ngga bermaksud kayak gitu. Aku cuma…”
“Iya iya….”
Alam menyela rentetan kalimat panik Za. Ia berjalan mendekat dengan empat jemari kedua tangannya terselip di saku celana, menyisakan sepasang jempol yang menyembul di luar. Mata Za terus mengekor kemana sosok itu melangkah. Za mendongak menatap Alam yang berdiri di sampingnya dengan pandangan terlempar jauh ke langit senja yang mulai merona. Za menatap wajah laki-laki itu. Sisa-sisa semburat cahaya matahari sore perlahan mengeringkan jejak-jejak air mata di wajahnya.
“Aku bercanda kok. Aku ngerti apa yang kamu rasain. Lagipula, walaupun kamu cuma menjadikanku pelarianpun tidak apa-apa.”
Za terkesiap. Kaget. Semakin memelototi wajah yang menantang langit itu.
“Setidaknya kamu masih memilihku sebagai tempat pelarian. Daripada kamu memilih orang lain dan tak mempedulikanku sama sekali. Jadi, walaupun cuma sebagai pelarian, berada disini sama kamu aja kurasa itu sudah cukup. Kalau disaat sedih seperti ini kamu pengen ditemenin sama aku, bukankah itu artinya kamu merasa nyaman bersamaku?”
Telak. Tak satupun kalimat Alam yang bisa ia bantah. Alam benar. Kenapa tadi dia memilih Alam. Kenapa dia tidak menarik tangan Harrimand yang notabene adalah kakak kandungnya. Atau kenapa dia tidak menyambar tangan Bagus yang selalu bisa memberi solusi-solusi hebat untuk setiap curhatannya. Atau kenapa dia tidak pergi bersama Lucaz yang selalu bisa membuatnya tertawa. Kenapa Alam?
Kalimat Alam tak satupun salah. Otak dan hatinya sepakat mengiyakan. Membuat matanya tak juga mau beranjak dari rupa tenang penuh senyuman itu. Ia bahkan tak berpaling salah tingkah seperti biasanya saat Alam tampak sudah puas menatap senja merona dan mulai memutar kepalanya menghadapi tatapan tertegun Za.
Kepala Za yang sudah beberapa menit terdongak akhirnya turun perlahan seiring pandangannya yang mengikuti Alam duduk di sebelah kanannya. Bayangan Alam yang masuk ke dalam pupilnya seolah mengganjal air matanya hingga tak lagi mengucur. Alam duduk berjongkok dengan kaki kiri bertumpu pada lutut. Menghadap pada Za, menatapnya. Laki-laki itu tersenyum. Sangat manis…
Alam mendaratkan telapak tangan kirinya lembut di kepala Za. Membiarkan rasa hangat dari rambut hitam pekat yang sejak tadi terguyur terik mentari senja menelusup kulitnya.
“Mungkin dia belum yang terbaik untukmu….”
Entah kenapa begitu kalimat itu masuk menerobos daun telinganya, terus merambat melewati syaraf-syaraf pendengarannya, dan bertemu dengan bayangan wajah tersenyum hangat di depannya yang merembet dari syaraf penglihatannya, melebur menjadi satu di otaknya, membuat Za merasa air matanya hendak bersiap kembali meluncur jatuh.
Tangan Za mengepal kuat. Ia kembali menangis. Menangis dalam diam. Tak ada isakan. Hanya air mata yang meluncur jatuh setelah menggantung sejenak di sudut matanya. Za hanya diam sembari pelan menggigit bibir dan terus menatap sosok di depannya yang masih mengusap rambutnya lembut.
Mata Za yang sudah mengabur karena selaput bening menggenang itu reflek membelalak saat wajah yang ia pandang tiba-tiba mendekat perlahan namun pasti. Kurang dari 3 detik, membuat tangan Za kuat mengepal saat ia merasakan hangat di bibirnya.
Entah apa yang ia pikirkan. Tak ada niat untuk menghindar. Tak ada hasrat untuk berpaling. Ia terpaku, pasrah. Perlahan ia memejamkan matanya. Membiarkan rasa hangat itu semakin lama memeluk perasaannya. Dingin senja yang perlahan menghitam tak mampu menembus batas kasat mata yang membekam tubuhnya dengan perasaan hangat.
Mataharipun menyembunyikan dirinya. Seolah membiarkan mereka berdua memiliki dunia. Membiarkan tetap seperti itu untuk beberapa saat.
.
.
.
.
Ia memejamkan mata, mengepalkan tangan. Mengeratkan dua rahangnya. Dan dengan kecepatan tinggi dan sekuat tenaga dihantamkan tinjunya mematuk keras batang pohon di sampingnya. Membiarkan titik-titik darah merembes kecil dari tulang-tulang punggung tangannya yang terantuk kasarnya serat-serat permukaan tubuh pohon besar itu.
Sekali lagi ditatapnya penuh amarah samar-samar bayangan di ujung bukit itu. Ditatapnya lekat-lekat dan disimpannya dalam memori otak terdalam dan dalam hati yang paling dasar. Mengumpul dan mengendap menjadi seonggok dendam yang tak kan mudah terkikis oleh apapun.
Gebrakan keras pintu mobil menelan tubuh yang mengejang menahan amarah itu. Deru mesin yang distarter dengan kasar pun berdengung bising seiring melesatnya besi hitam pekat itu menjauh dari sana.
------------------------
Ia tak menyalahkan siapapun. Ia tak menyalahkan apapun. Ia tak ingin memaki, ia tak ingin menyesali. Bukankah itu yang selalu dikatakannya?
Setiap jengkal cerita dari kehidupan selalu punya alasan mengapa harus terjadi. Setiap orang punya takdirnya sendiri mengapa harus menjadi penyebab dari suatu fase kehidupan orang lain. Tidak ada sesuatupun yang sia-sia. Tidak ada sedikitpun niat Tuhan untuk menyengsarakan hamba-Nya. Ia hanya ingin melihat seberapa sayang makhluk yang ia ciptakan itu pada-Nya. Bukankah itu yang selalu dikatakannya?
Kita tak kan pernah merasa bahagia jika hanya menyesali setiap kekurangan. Kita tak kan pernah merasa bahagia jika tak pernah mensyukuri apa yang kita dapat. Melihat ke atas ketika ingin berbuat yang lebih baik, dan melihat ke bawah ketika berada dalam keterpurukan adalah satu hal yang tak semua orang bisa lakukan, membuat kita terhindar dari perasaan menjadi orang paling hebat di dunia maupun paling sengsara. Bukankah itu yang selalu dikatakannya?
----------------------
Jakarta 07 Juli 2009
Ia kembali menatap mata itu. Mata yang memandang tembok itu dengan senyum yang tak sedikitpun surut.
Rasa penasaran mendorong gadis itu perlahan mengangkat tangannya. Ia lambaikan telapaknya menghalangi pandangan kearah tembok itu. Barulah ia menyadarinya setelah melihat mata itu tetap menatap titik yang sama. Dengan senyum, dalam diam…
Ia bergeser pelan mendekat pada kakaknya. Ragu-ragu ia menyenggol pelan siku saudaranya itu. Laki-laki  yang sejak tadi mengobrol dengan seseorang bernama Icha itu pun segera menoleh pada dirinya yang menatap kakaknya itu dengan ekspresi penasaran.
Jentikan alis laki-laki itu seolah bertanya “kenapa?”
Ia berbisik pelan begitu kakaknya sudah berdiri meyejajarinya. Tatapannya masih tertuju pada sosok yang terduduk di atas kasur itu.
 “Kak, apa…dia….buta?”
Dengan jelas ia bisa menangkap isyarat raut kesedihan yang sontak menyembul dari wajah kakaknya. Laki-laki itu perlahan memundurkan langkah yang segera dikuti olehnya, menjauhi ranjang pasien seolah tak ingin apa yang akan ia katakan didengar oleh orang yang menjadi topik pembicaraan mereka, walaupun ia tahu laki-laki itu tak mungkin mendengarnya.
mereka pun berdiri agak menjauh dari pasien itu. Sementara itu orang bernama Icha itu beralih mendekat pada kakak yang sakit itu dan memegang telapak tangannya. Entah dengan isyarat seperti apa dia seperti mengajak kakak itu mengobrol.
Kakaknya bicara sambil menatap wajah temannya yang bahkan melihat wajah itu pun terasa miris.
“Dia lumpuh, buta, tuli….”
Karena kakaknya tidak melihat ke arahnya jadi mungkin dia tidak mengetahui ekspresi kekagetan yang menyeruak dari wajah gadis itu.
“Apa?”
“Kecelakaan itu membuat otaknya mengalami kerusakan. Pembuluh darah di otak kirinya mengalami penyumbatan. Itu membuat bagian tubuhnya yang sebelah kanan lumpuh.”
Reflek ia menutup mulut dengan kedua telapak tangannya. Bisa dirasakan bulu roma di sekujur tubuhnya merinding. Ada perasaan miris dan iba yang teramat sangat tiba-tiba menyergapnya. Semakin merinding lagi saat ia melihat kakak itu tersenyum begitu lebarnya pada Icha walaupun ia tak yakin laki-laki itu bisa sepenuhnya memahami apa yang dikatakan oleh lawan bicaranya. Dia tampak begitu tegar dan kuat.
“Kecelakaannya parah banget ya?”
Kakaknya hanya menjawab dengan anggukan.
“Dia bisa bertahan walaupun dengan keadaan seperti itu?”
Pertanyaannya hanya dijawab dengan helaan nafas dalam.
“namanya siapa?”
.
.
.
.
.
.
“Alam….”
Gadis itu kembali menatap sosok teduh itu. Untuk kesekian kali ia merasakan merinding di sekujur tubuh ketika menatap wajahnya. Sosok yang begitu tegar. Yang terus bersabar, dengan senyum….dalam diam…
---------------------------
5 Juni 2009
Za meringsek dari tepian tempat tidur, menyisakan kerut-kerut pada sprei yang menyelimuti kasurnya. Menghempaskan badannya beralaskan bantal dan menarik selimut hingga sebatas leher. Menatap kosong langit-langit kamarnya yang samar-samar karena hanya tinggal lampu tidur kecil yang menerangi ruangan luas itu.
Ia menajamkan pandangannya. Membuat dahinya terlipat-lipat bertingkat. Susah payah ia mencoba mencari jawaban atas pertanyaan yang untuk kesekian kali muncul di otaknya. Pertanyaan yang aneh dan membingungkan, yang sampai sekarang tak sedikitpun ada petunjuk baginya dimana ia bisa mendapat jawabannya. Kak Harrimand yang sudah sempat ia tanyai pun, berkali-kali malah, tak memberi jawaban yang memuaskan bagi hatinya. Hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala atau mengedikkan bahu, pasti selalu begitu. Dan itu justru semakin menambah rasa penasaran yang menyesaki dadanya.
Rasa itu selalu muncul tiba-tiba. Rasa yang membuat jantungnya tiba-tiba berdesir. Rasa yang seringkali membuatnya berhenti mendadak ketika melangkah. Rasa yang beberapa kali membuatnya sontak terpaku, menatap kosong dan tenggelam dalam dunia yang tak ia kenal. Rasa yang aneh. Yang tak jarang membuatnya ketakutan karena merasa sendirian berada di dunia yang tak dikenalnya.
Za menempelkan telapak tangan kanannya di dada kiri. Merasakan, mencari samar-samar denyut jantung dibalik lapisan daging dan lingkupan tulang. Mencoba mencari jawaban.
Siapa yang kurindukan?
Za memejamkan matanya. Kuat-kuat. Namun justru hanya pening yang ia dapat. Semakin ia mencoba mencari, semakin nyata rasa takut yang sontak menyergap perasaannya.
Serasa seperti ada yang mencengkeram hatinya. Rasa rindu yang teramat sangat. Rasa rindu misterius yang tak bisa ia temukan siapa yang dirindukannya. Membuatnya merasa takut pada dirinya sendiri. Merindukan seseorang yang bahkan tidak ia tahu siapa?
Za terengah kembali menatap langit-langit kamarnya. Membiarkan embun hangat menyembul perlahan dari sudut-sudut matanya dan meluncur terantuk membasahi rambut yang tergerai di bawah kepalanya. Nanar matanya terjaga dalam gelap. Terus mencoba mencari, terus mencoba menemukannya. Menemukan sosok yang ia cari. Menemukan sosok yang ia rindukan. Namun, tetap saja,,, gelap,,, dan menakutkan….
---------------------------
14 Mei 2009
Sangat berisik. Suara rumpian 3 orang ibu-ibu berdesakan di udara bersama bau semerbak harum adonan tepung yang terpanggang. Gemerincing gelas beradu maupun sendok dan piring yang saling berbenturan lirih melengkapi suasana sore itu.
Harrimand masih membolak-balik kasar majalah di tangannya. Suara kertas-kertas yang didorong dengan kasar memperdengarkan dengan jelas kebosanan dari si pembaca. Ia berdecak putus asa atas kebosanannya sendiri dan akhirnya menutup dengan kasar majalahnya lalu melemparnya begitu saja berserakan bersama majalah lain di meja.
Harrimand duduk malas bersandar pada sofa ruang tamunya. Diam dengan wajah ditekuk tujuh saking bosannya. Barulah ia sadari bahwa menjadi pengangguran setelah terbiasa diburu waktu manggung sana sini ternyata bisa membuat otaknya mati gaya. Kendatipun itu hanya 2 hari. Tapi jika ia hanya bisa terkungkung di rumah seperti ini membuatnya merasa lebih baik lelah berangkat pagi pulang malam dan sibuk bekerja di luar seperti biasa.
Terlebih lagi malam ini di rumahnya akan ada pengajian. Sejak tadi siang rumahnya sudah berisik dengan dengung cengkerama teman-teman ibunya di dapur. Membuatnya melupakan niat untuk tidur siang maupun menonton TV dengan tenang. Ingin jalan-jalan keluar tapi apa yang dikatakan ibunya? Ibunya mengatakan bahwa dia harus bersiaga di rumah karena mungkin sewaktu-waktu ia dibutuhkan untuk mengantar ibu-ibu itu membeli keperluan ini itu yang dirasa kurang. Dengusan bosan kembali menghambur di udara.
Kesekian kalinya Harrimand menghela nafas. Ia masih duduk bengong sambil sesekali membayangkan teman-teman lainnya yang mungkin menghabiskan waktu liburnya hari ini dengan having fun. Matanya melirik ke kanan dan ke kiri mengekor lalu lalang ibu-ibu yang sesekali bolak-balik dari dapur ke ruang keluarga yang akan menjadi tempat pengajian nanti malam. Harrimand memutar bola matanya, mencari-cari inspirasi di segenap penjuru rumahnya yang mungkin bisa ia jadikan obyek kegiatan pengusir kebosanan.
Pandangannya terhenti pada daun pintu sebuah ruangan yang ada di samping ruang keluarga. Sejenak ia memandangi daun pintunya yang tertutup rapat itu. Sontak ia pun beranjak dari kursi malasnya. Berjalan pasti dan sedikit bersemangat karena merasa menemukan obyek yang ia cari.
Harrimand berhenti di depan kamar adiknya. Sejak pagi ia belum bertemu dengan adiknya itu. Hampir dua jam ia duduk di ruang tamu juga tak tampak adiknya itu keluar kamar.
Tok tok…
“Za…”
Harrimand menunggu jawaban dari dalam. Jemarinya memainkan gantungan berwarna merah jambu yang bertuliskan “Zania Kairani” tergantung di pintu kamar adik satu-satunya itu. Gerak jemarinya terhenti saat ia merasa sudah terlalu lama tak ada jawaban dari dalam.
“Za?”
Harrimand merapatkan telinganya ke daun pintu. Mencari-cari sayup suara yang mungkin terdengar dari dalam. Ia tak bisa mendengar apapun. Ia sudah terlalu bosan untuk kembali duduk bengong di kursi malasnya. Akhirnya dia memutuskan untuk menarik pelan handle pintu, tidak terkunci.
“Kakak masuk ya…”
Hati-hati Harrimand mendorong daun pintu yang berderit pelan. Setelah pintu itu terbuka agak lebar ia menyembulkan kepalanya melongok ke dalam. Sebentar memandang berkeliling hingga akhirnya berhenti menatap adiknya yang duduk tertunduk di tepian tempat tidur. Rambutnya sedikit tergerai ke depan menutupi wajah. Tampak kedua tangannya mencengkeram sprei di kiri-kanannya. Harrimand yang semula hanya menyodorkan kepalanya pun bergegas membuka daun pintu lebar-lebar dan menerobos masuk. Wajah yang semula sudah ia setting berekspresi jahil pun sontak berganti dengan raut kekhawatiran demi melihat adiknya yang terlihat seperti ketakutan.
“Za, kamu kenapa?”
Harrimand berlutut di hadapan adiknya. Khawatir melihat badan Za yang menggigil hebat. Ia menyingkapkan rambut yang tergerai menutupi wajah gadis itu. Tampak jelas butiran-butiran keringat berhamburan di wajahnya.  pipinya basah oleh air mata. Nafasnya terengah naik turun dengan mata yang terpejam kuat-kuat.
“Za?!?!?”
Za tak bergeming. Ia terus memejamkan matanya rapat-rapat, menampakkan lipatan-lipatan di dahi yang diguyur titik-titik keringat membanjir.
Harrimand meraih tangan adiknya. Mencoba melepaskan tangan gementar itu dari cengkeramannya pada sprei dan menggenggamnya erat.
“Kamu kenapa?”
Tak ada isakan. Air mata itu mengalir begitu saja, dalam diam, di tengah beratnya helaan nafas yang juga terdengar bergetar, menerobos kelopak yang bahkan sudah sekuat tenaga terpejam menahannya. Wajah itu tampak ketakutan.
“Za?!?”
Dengan kedua tangannya Harrimand mengangkat wajah Za yang tertunduk. Mata itu sontak membuka. Menatap wajah penuh kekhawatiran yang memandangnya panik. Ia masih terus menangis tanpa berkata apapun, dengan nafas terengah dan bibir yang digigit kuat-kuat hampir berdarah.
“Za kamu kenapa?!? Bilang sama kakak.”
Za tak bergeming.
Harrimand terus menunggu. Za tetap tak angkat bicara. Gadis itu mengalihkan pandangannya kearah pintu kamarnya yang terbuka. Menatapnya ketakutan.
Harrimand mengikuti pandangan adiknya. Sebentar memandang pintu itu sembari berpikir lalu kembali menatap wajah ketakutan Za. Ia pun beranjak dari sisi Za, melangkah kearah pintu dan menutupnya. Setelahnya ia segera kembali ke samping Za yang sudah kembali tertunduk.
Harrimand duduk di samping adiknya. Ia meraih punggung Za dan memeluknya erat. Membiarkan isakan tertahan dalam diam itu kini mulai bersuara. Harrimand memeluk badan yang gemetar itu erat-erat, mengelus punggungnya yang bergetar hebat, mencoba meredam suara tangis yang terdengar begitu menyakitkan hatinya sebagai seorang kakak.

“Aku takut…..”
Untuk kesekian kali dua kata itu ia dengar dari adiknya. Entah sudah ke berapa puluh kali kata itu dilontarkan padanya belakangan ini. Dua kata yang selama ini hanya bisa ia jawab dengan “Semuanya akan baik-baik saja” atau bahkan hanya dengan senyuman dan usapan pelan di rambut adiknya itu. Ketakutan yang tiba-tiba datang tanpa diketahui penyebabnya. Ketakutan karena merasa berada dalam dunia yang tak dikenalnya.
“Semua akan baik-baik saja”
Gamang Harrimand mengucapkannya. Berharap orang yang ia sayangi itu tak bosan mendengarnya. Ia mengeratkan pelukannya, mencoba menguatkan adiknya, walaupun tangannnya sendiri terkepal kuat melihat keadaan adiknya sekarang.
-----------------------------
Bandung, 7 Mei 2009
Rangkak jarum hitam pendek itu seolah semakin berat dari hari ke hari. Sekuat tenaga menyeret langkahnya untuk mengitari pusaran waktu sembari menarik beban keputusasaan yang menggelayut manja di ujungnya. Ruam kelelahan semakin tergambar jelas di wajah yang terkulai lelap beralaskan punggung tangan itu.
Tiga belas hari menunggu dalam ketidakpastian hidup mati seseorang membuat rasa lelahnya terakumulasi dalam tidur 2 jamnya pagi itu. Alisnya mulai samar tergerak saat suara derit pintu menelusup gendang telinganya yang belakangan ini entah kenapa menjadi begitu peka dengan suara sayup-sayup. Membuka mata terasa seberat mengangkat kepalanya saat itu.
Icha melambaikan tangan kanannya pelan saat mata sayu Harrimand  bisa menangkap bayangan wajahnya. Mengenali sosok yang sedang meletakkan bungkusan nasi kuning kesukaannya di atas meja itu, Harrimand pun kembali meletakkan kepalanya yang sudah sejak berhari-hari lalu pening.
“Pulang dulu sana. Biar aku yang gantiin. Miris liat mukamu yang udah ngga bentuk gitu.”
Icha berjalan kearah jendela dan menarik gerendelnya. Mendorong bagian bawahnya dan membiarkannya menganga. Membuat aroma hari baru menyeruak ke seisi ruangan.
Harrimand tak bergeming. Ia masih menelungkupkan dahinya ke atas punggung tangan kanannya yang menggenggam jemari adik perempuannya. Icha mendesah prihatin melihat pemandangan di depannya itu.
“Istirahatlah sebentar…”
Harrimand baru mau mengangkat lehernya saat pundaknya ditepuk pelan oleh Icha. Ia memutar-mutarkan kepalanya hingga menimbulkan bunyi gemeletuk yang mewakili teriakan kelelahan dari otot-otot di sekujur tubuhnya.
Ini sudah hari ke 13. Harrimand sudah tak tau lagi harus memohon dengan cara apa agar Tuhan mau menyadarkan adik satu-satunya itu dari koma panjang. Belum lagi ia harus bersiap dengan kemungkinan buruk jika Za sadar nanti sebagaimana yang sudah dikatakan dokter di awal.

Kecelakaan fatal itu membuat adiknya terbaring seolah tanpa nyawa di atas kasur putih itu. Bergumul dengan juntaian-juntaian selang dan kabel pendeteksi fungsi organ tubuh yang menjadi aksesoris pelengkap baju pasien yang ia kenakan. Bibirnya yang memutih pucat tertutup oleh masker oksigen. Masih tersisa gurat-gurat bekas luka di pelipis kanan,pipi dan dagunya, memberi jejak bahwa luka yang sangat dalam pernah terpetakan disana. Juga masih tampak sedikit memar di dekat telinga. Alisnya pun menyisakan segurat alur yang menunjukkan bahwa bentuknya yang indah telah dirusak dengan paksa oleh hantaman besi.
“Tidur bentar sana. Aku yang bakal jagain Za. Tenang aja…”
Dengan sudut matanya Harrimand memandang punggung tangan Icha yang masih bertumpu di pundaknya. Ia bisa merasakan teriakan-teriakan bising dari seluruh otot anggota badannya yang mendukung saran Icha. Akhirnya otaknya memberi persetujuan atas permintaan para bawahannya itu dan memberi perintah pada kepala Harrimand untuk mengangguk pelan. Icha pun tersenyum melihat sahabatnya itu mau sedikit mentolerir raganya yang sudah diforsir selama berhari-hari.
Harrimand bersiap meninggalkan kursinya yang sudah menghangat setelah semalam suntuk ia duduki, namun sontak seluruh syarafnya seolah di pause dan membuatnya terpaku dalam keadaan setengah berdiri. Icha ikut melipat kening melihat Harrimand sontak terpaku dan memandangi adiknya dengan mata melebar.
Harrimand tak bergerak sedikitpun. Bahkan ia seolah tak ingin gerak naik turun bernafasnya mengganggu konsentrasinya. Ia sedang berkonsentrasi untuk merasakan sesuatu. Sesuatu yang selama hampir dua minggu ia tunggu. Ia yakin ia tidak salah. Baru saja ia merasakannya. Pelan, samar-samar. Ia merasakan tangan adiknya yang baru saja hendak ia lepaskan bergerak sekejap. Ia yakin itu.
“Dia sadar?!?!?”
Harrimand yang sejak tadi memfokuskan pengamatan pada jemari tangan Za, buru-buru melempar pandang pada Icha. Berharap sahabatnya itu juga melihat tanda-tanda bahwa adiknya telah sadar.
Mata Harrimand semakin membulat saat ia melihat Icha terbelalak menatap wajah Za. Bergegas ia mengikuti arah mata Icha. Jantung Harrimand seolah melompat saat ia melihat bulu-bulu mata lentik itu bergetar. Kelopak mata itu perlahan tersingkap. Sangat pelan. Menampakkan iris kecoklatan yang masih takut-takut menghadapi silau cahaya yang sudah belasan hari tak singgah kesana.
“Za….”
Harrimand berdiri kasar. Membuat kursi di belakangnya terdorong. Ia mendekati wajah adiknya. Berharap hal pertama yang dilihat oleh gadis cantik itu adalah wajahnya. Butuh beberapa menit hingga sepasang tirai kelopak itu tersingkap sempurna. Menampakkan mata bulat coklat yang indah seperti milik Harrimand itu membuka sayu. Dan seperti yang diharapkan, bola mata itu pelan bergeser ke sudut kiri. Beradu dengan tatapan Harrimand.
Icha seperti ikut menahan nafas menanti tiap detik saat menyenangkan, mengharukan atau mungkin menyedihkan itu akhirnya tiba. Ia biarkan kakak beradik itu menguasai putaran waktu kali ini. Menjadi pusat dari seluruh derit kehidupan pagi itu.
Seringai antusias Harrimand perlahan surut setelah bertahan selama lebih dari satu menit menghadapi tatapan gadis itu. Berganti dengan ekspresi hambar yang terpaku membalas pandangan sayu itu. Ia menatap dalam-dalam hingga menelusup isi hati sang adik. Mencoba merengkuh rasa yang ia tahu pasti dirasakan sosok di depannya itu sekarang.
Perlahan beku di wajah Harrimand berganti dengan seulas senyum hangat sebagai jawaban atas pertanyaan yang sudah berhasil ia raup dari mata Za. Pertanyaan yang sudah ia siapkan jawabannya sejak hari pertama adiknya koma. Jawaban atas pertanyaan yang sudah dipastikan oleh dokter akan muncul jika Za sadar nantinya.
Harrimand mengelus rambut adiknya pelan. Merembetkan teduh lewat usapan lembut dan senyuman dari wajahnya. Perlahan ia berbisik lirih. Mengeja kalimat pelan dan memastikan adiknya itu bisa mendengarnya dengan jelas.
“Aku kakakmu…. Harrimand…. Kakakmu….”
Masih dengan senyum lembut ia mengusap kening adiknya. Mencoba menancapkan dalam-dalam kalimat yang diucapkannya tadi di hati orang yang disayanginya itu. Kalimat pertama yang menjawab pertanyaan “kamu siapa?” yang mungkin juga pertama muncul di benak Za setelah sekian lama terpejam itu.
“Aku kakakmu….”
Harrimand mengucapkan kalimat itu sekali lagi. Memastikan Za merekam baik-baik hal itu dalam loker-loker otaknya. Loker-loker yang terkoyak oleh kecelakaan hebat itu. Menyisakan pecahan-pecahan ingatan yang luluh lantak terhantam karang-karang jurang yang menelan mobil tumpangannya.
---------------------------
12 April 2009
Tak satupun memori dalam otaknya mau ikut terbawa oleh kelebat-kelebat pepohonan yang mereka lewati di sepanjang perjalanan. Tetap saja menggelayut berat di angan-angan Za. Membuat gadis itu masih menatap kosong kaca mobil di sebelah kirinya yang menampakkan pemandangan hijau berlalu cepat seiring putaran roda mobil yang membawanya menembus dinginnya Bandung.
Embun di matanya seolah tak mau kalah dengan derai berai sukacita titik-titik gerimis yang mematuk-matuk kaca mobil itu. Ikut turun membanjir, berkumpul di ujung dagu dan berarak jatuh setelah tak kuat ditimpali tetesan-tetesan yang menyusul dari mata bening itu.
“Za…..”
Mungkin orang di depan kemudi itu akan menyerah jika panggilannya yang ketiga kali ini masih diacuhkan oleh Za. Beruntung akhirnya kesadaran Za bisa menemukan jalan pulang dan kembali merasuki jasad itu, membuatnya terkesiap mengerjapkan mata dan reflek segera menghapus gumpalan embun yang membulat di ujung dagunya. Tergagap ia menoleh pada orang di sampingnya. Sekuat tenaga menyajikan senyum pada laki-laki di bangku kemudi itu.
“Maaf Kak…aku…”
“Ngga papa. Aku ngerti perasaanmu. Pasti ngga mudah buat kamu bahkan untuk sekedar tersenyum yang wajar saja.”
Za sontak menyurutkan senyumnya yang baru ia sadari tampak terlalu dibuat-buat. Ia sadar bahwa ia sedang dalam posisi yang tak sanggup untuk tersenyum. Laki-laki itu justru membalas dengan senyuman yang tentu saja jauh lebih terlihat menyenangkan. Mendamaikan hati Za. Namun sepertinya Za tak ingin berlama-lama memandang senyum itu. Takut. Bukankah karena senyum itu jugalah yang membuatnya akhirnya terjerembab dalam genangan air mata seperti sekarang. Karena senyum orang disampingnya itu. Karena sifat baiknya. Membuatnya jatuh hati bahkan disaat hatinya sudah ada yang mengisi.
Akan tetapi, Za tetap tak mengerti kenapa ia masih bisa berada disini, bersamanya. Satu mobil bersama orang yang sudah turut andil merenggut kebahagiaannya. Entah apa yang membuatnya begitu keras kepala. Za ingin membenci laki-laki itu. Tapi hatinya ternyata tak sependapat dengan keinginannya. Ia lebih memilih menyalahkan dirinya sendiri daripada harus membenci sosok teduh di sampingnya itu. Perasaan aneh yang entah Za sendiri tidak bisa mendeskripsikannya dengan pasti.
Satu hal yang pasti adalah saat ini ia merasa begitu kehilangan. Bayangan wajah Icha yang berpaling jengah darinya membuat arak-arakan air mata itu kembali menggila. Membuat Za menggigit bibir kuat-kuat menyesali segala apa yang sudah terjadi. Hilang sudah apa yang ia jaga selama ini. Sirna sudah apa yang ia genggam selama ini. Ia masih sangat-sangat ingin bersama dengan sosok yang dicintainya itu. Namun, itu sudah tak mungkin lagi menjadi kenyataan. Icha bahkan seperti tak lagi mengenalinya. Melupakan semua bersama sakit hatinya.
Mata Za melirik kembali laki-laki di sampingnya yang sedang fokus menatap jalanan. Gadis itu mengepalkan tangannya kuat-kuat.
Apa yang kulakukan disini? Kenapa aku masih bersamanya?
Pernyataan itulah yang sekarang memadati pikiran Za. Helaan nafasnya yang terasa berat tetap tak mampu mengurangi penat di dadanya. Andai saja Kak Harrimand tidak perlu demam, andai saja Kak Bagus tidak punya janji dengan mamanya, atau andai saja kak Lucaz tidak perlu ke Sulawesi hari itu, pastilah Za tidak perlu menempuh perjalanan kali itu bersamanya. Tapi bagaimanapun juga kebodohan itu sumbernya tetap dari dirinya sendiri. Dirinya sendirilah yang begitu bodohnya mengangguk pasrah saat laki-laki itu menawarkan diri untuk mengantarnya pulang ke Bandung. Dengan mudahnya ia mengiyakan. Sekali lagi karena perasaan aneh yang tak bisa ia deskripsikan dengan pasti.
Laki-laki itu mematikan tombol yang mengontrol pembersih kaca depan setelah melihat titik-titik hujan sudah berhenti berarakan memukul-mukul mobil yang ia kemudi. Sekilas ia menengadah mengintip ke langit yang ternyata memang benar sudah menyemburatkan sedikit celah bagi sang surya untuk menampakkan diri. Awan yang menggerumbul gelap mulai berarak pergi meninggalkan kawasan yang mereka lalui. Menyisakan gemilau aspal yang masih licin karena guyuran hujan.
Mendung berangsur-angsur memutih. Sang surya juga mulai bersinar gagah. Samar-samar di langit kejauhan terlukis tipis tumpukan-tumpukan warna yang melengkung indah. Begitu cantik dan mendamaikan. Warna kehijauan daun-daun di pepohonan tampak semakin berkilau karena lapisan titik-titik embun yang bertengger di permukaannya. Tinggallah hawa dingin yang tersisa sebagai tanda bahwa baru saja turun hujan.
 Namun suasana seperti ini nampaknya terlalu indah untuk menjadi saksi bagi hari itu. Hari yang seolah menjadi seperti breakshoot bagi permainan takdir mereka. Sebuah pukulan yang menjadi awal baru bagi fase kehidupan mereka. Menjadi hantaman kuat bagi bola-bola cerita yang semula diam tenang dan nyaman.
Waktu seolah mengitung mundur menuju saat yang sudah digariskan. Dan tanpa seorangpun bisa mengira, detik itu juga sang takdir bicara.
Detik-detik saat suara keras itu mengagetkan Za dan si pengemudi. Ledakan ban kiri depan mobil itu tak pelak lagi membuat stir sontak hilang kendali dan memutar brutal mengombang-ambingkan apapun yang ada di dalamnya. Membiarkan mobil itu berputar kalut hingga akhirnya tanpa ragu menabrak pembatas jalan yang sayangnya tak cukup kuat untuk menahan beban baja yang menghantam tiba-tiba. Membiarkan mobil merah metalik itu terjun bebas, berputar, terbalik dan terantuk-antuk bebatuan di sepanjang perjalanan mencapai dasar jurang 70 meter itu.
.
.
.
.
.
Gemetar kesakitan di tengah himpitan besi-besi bengkok yang menjepit tubuhnya membuat selaput buram itu membayang tebal di mata indah Za. Membutakan pandangannya yang sudah menyabit hendak terpejam. Masih sempat ia menangkap bayangan samar laki-laki itu tertelungkup tragis. Hanya samar-samar kerah bajunya yang bisa ia kenali di tengah-tengah lingkupan penyok-penyok badan mobil. Za mencoba menggerakkan tangannya yang mati rasa, hendak meraih sosok yang membisu itu.  Namun, tangannya bahkan tak bisa tergerak sedikitpun. Perih menusuk luka menganga di tulang pipi kanannya saat bulir hangat itu mengalir pasrah dari sudut matanya yang hampir terkatup.
Hanya bisikan lemah yang menjadi pengiring terpejamnya mata sayu bersimbah darah itu. Menjadi kalimat terakhir sebelum semuanya menghitam pekat.
“Kak…….A….lam…..”
-----------------------------
Seperti apapun tangisanmu tidak akan mengembalikan waktu. Sekeras apapun cacianmu tidak akan merubah nasibmu. Sekencang apapun teriakanmu tak kan membuat semuanya menjadi lebih baik. Mengapa tidak bertanya pada diri sendiri, kenapa hal seperti ini bisa terjadi, mencari apa yang kurang dari kita, lalu memperbaikinya. Mengapa tidak memikirkan saja apa yang harus dilakukan di masa depan, membuat segala kekurangan menjadi kebahagiaan, berbuat sesuatu yang lebih dari sekedar meratapi nasib, menyesali keadaan, menyalahkan takdir ataupun memaki Tuhan. Bukankah itu yang selalu dikatakannya?
Setiap manusia punya takdirnya sendiri. Tiap manusia pasti pernah bertanya apakah hidup ini adil. Tapi mereka tidak akan pernah merasa hidup ini adil jika mereka selalu menilai bahwa sesuatu dikatakan adil hanya jika mereka bahagia, dan hidup dianggap tidak adil jika mereka menderita. Bukankah itu yang selalu dikatakannya?
Dia yang selalu tersenyum bahkan disaat tak seorangpun mampu menahan tangis ketika melihat dirinya. Dia yang bisa tertawa lepas bahkan disaat orang lain menahan gemetar kesedihan dalam suara saat bicara dengannya. Dia yang tak pernah sekalipun mengatakan “aku lelah”, “aku benci hidupku” atau “kenapa semua terjadi padaku”.
Dan akhirnya aku tak lagi bimbang. Tak lagi bertanya bingung siapa sebenarnya yang kurindukan. Karena ternyata di selip-selip loker ingatanku yang porak-poranda, masih ada secarik kertas berisi selarik cerita tentangnya, berisi sebuah nama. Tentang seseorang yang membuatku mampu melepas kepergiannya dengan senyuman seperti sekarang, walaupun mata ini tak bisa menahan bulir-bulir hangat yang mengalir lembut menelusur lekuk pipi, menghampiri perlahan sudut bibirku yang masih mengukir senyum untuknya.  Tentang seseorang yang sedang kupandang untuk terakhir kalinya. Kuantar dengan senyuman, dengan perasaan rindu yang akan tetap terbingkai indah menjadi sebuah kenangan. Tentang seseorang………. tentangnya………
Tentang Kak Alam….
Ya, dialah yang selama ini kurindukan. Hatiku memang mendua, awalnya. tak mampu menentukan pilihan, terombang-ambing dalam lautan perasaan, hingga menjawab pertanyaan tentang siapa yang kurindukan pun aku tak sanggup. Namun, pada akhirnya aku mampu untuk memilih. Menegaskan lukisan wajah samar-samar yang selama ini menggelayuti pikiran. Menyingkirkan semua kebimbangan.
Namun sayang, aku tak sempat mengatakannya, aku tak sempat menyatakan bahwa aku memilihnya. Terlambat memang aku menyadari siapa yang kurindukan. Terlalu lama aku menemukan jawaban atas pertanyaan itu. Terlalu lama aku membiarkannya menunggu. Membiarkannya sendiri dalam gelap dunianya. Dalam senyum teduh yang menjadi satu-satunya teman dalam ketakutannya. Hingga akhirnya ia tak mampu bertahan dan pergi meninggalkanku. Pergi meninggalkan setumpuk rasa cinta yang kusimpan untuknya. Meninggalkan segalanya. Meninggalkan dunia.
Kecelakaan itu merenggut semua ingatan yang sudah menumpuk selama 20 tahun di otakku. Membuatku harus memulai kembali hidupku sebagai seseorang yang baru. Yang tak pernah tau seperti apa hidupku masa lampau.
Hidupku terasa hambar. Aku tidak tau harus bagaimana. Tak ada yang ku kenal. Tak ada yang kuingat. Hanya rasa takut karena merasa sendirilah yang seringkali muncul dalam otakku. Dan tentu saja rasa aneh itu, rasa rindu yang aku tak tau untuk siapa.
Kak Harrimand…. Pastilah dia punya alasan kenapa ia tak mau sedikitpun menceritakan tentang kak Icha dan kak Alam. Dua orang yang memegang peran penting dalam alur kehidupanku sebelumnya. Ia biarkan aku mengenal mereka sebagai sosok yang biasa saja. Dua orang yang berteman akrab layaknya persahabatan pada umumnya. Ya, kak Icha sudah sepeenuhnya memaafkan kak Alam, dan memaafkanku juga. Karena merasa kasihan mungkin, atau karena rasa bersalah, mungkin juga. Akupun tak tau pasti. Yang pasti, aku tak pernah tau seperti apa kami bertiga dulu. Hingga akhirnya kepergian kak Alam membuka semua yang selama ini tertutup. Kak Harrimand menceritakan semuanya,tepat satu hari sebelum kepergian Kak Alam.  Sakit? Ya. Aku merasa sakit hati karena mereka baru menceritakan padaku saat itu. Belum sempat kusampaikan maafku, belum sempat kuucapkan terimakasihku, belum sempat kunyatakan perasaanku, dia telah pergi.
Apa gunanya aku mengetahui semuanya jika akhirnya sudah terlambat. Tak ada lagi yang bisa ku katakan. Tak ada lagi maaf yang sempat kusampaikan. Atau ucapan terima kasih pun sudah tak mungkin lagi kuberikan. Apa gunanya aku tau semua itu? Tidakkah lebih baik aku hidup seperti ini selamanya? Tak mengenalnya?
Aku ingin memeluknya. Pastilah selama ini dia kesepian, hampa di tengah gelap dan sunyi dunianya. Aku ingin memeluknya, mengusap wajah manisnya, karena ia tak bisa melihat, tak bisa mendengar, hanya bisa merasakan. Tapi sekali lagi semuanya terlambat. TERLAMBAT!!
Tapi, untuk menyesalpun semuanya sudah terlambat. Aku sudah terlanjur tahu yang sebenarnya. Aku sudah menemukannya. Menemukan sosok yang kurindukan. Pantaskah aku membencinya? Tidak, aku tidak ingin membencinya. Aku ingin mencintainya, seperti dulu.
Tak kupedulikan tatapan heran orang-orang yang bingung karena melihatku terus tersenyum. Aku memang bukan seseorang yang kuat. Aku tak menahan air mataku. Aku membiarkannya mengalir bebas. Menatapnya lekat-lekat untuk yang terakhir kalinya, sebelum tanah merah memeluk raga itu selamanya. Aku membiarkan kesedihan itu mengalir bersama air mata. Aku hanya ingin tersenyum, seperti dirinya, seperti apa yang selalu diajarkannya dulu saat aku masih mengenalinya, seperti apa yang selalu dilakukannya untukku. Tersenyum.
Dalam hati ku bisikkan pelan. Sebuah kalimat yang tak pernah sempat kuucapkan…..
Aku merindukanmu….
Dan akan terus merindukanmu….
Kak Alam…
-------------------------------------------------------
Selama aku mencari
Selama aku menanti
Bayang-bayangmu di batas senja
Matahari membakar rinduku
Ku melayang terbang tinggi

Tuk selalu mega-mega
Menembus dinding waktu
Ku terbaring dan pejamkan mata
Dlam hati kupanggil namamu
Semoga saja kau dengar dan merasakan

Getaran di hatiku
Yang lama haus akan belaianmu
Seperti saat dulu
Saat pertama kau dekap dank au kecup bibir ini
Dan kau bisikkan kata-kata ku cinta padamu

Peluhku berjatuhan
Menikmati sentuhan
Perasaan yang teramat dalam
Telah kau bawa segala yang kupunya
Segala yang kupunya
(Rindu- Agnes Monica)


Dewi Puspita
(@pusy_cliq)



- SEPASANG SANDAL JEPIT -

"Aku hanya merasa, bahwa aku dan kamu sebagai sepasang sandal jepit."

"Kau mau menganggap hubungan kita tak ada artinya seperti sandal jepit? Atau kau menganggapku orang yang mudah putus asa, seperti sandal jepit yang mudah memutus tali mereka?"

"Tidak..."


"Lalu apa?"

Bisma tersenyum manis. Pancaran matanya yang bening, menyejukkan hati Cherri, wanita yang kini tengah beradu mata dengannya. Tersirat penuh arti di sinar matanya yang masuk pada celah bola mata (?) Cherri.
Cherri menunduk, menyembunyikan wajahnya yang merona merah karena malu. "Bisakah kakak menjawab itu?"

#pletaak

Cherri, mengaduh pelan. "Kau lupa, nona? Jangan panggil aku kakak!" ucapnya.


"Maaf..., dan jangan panggil aku Nona! Itu bukan namaku." jawab Cherri sembari mengusap kepalanya yang tadi di hadiahkan satu jitakan cukup keras. "Katakan apa maksudnya."

"Maksud apa?"

"Sandal jepit."

"Aku hanya merasa, aku tidak berguna tanpamu. Dan aku pun ingin kau merasakan hal yang sama."


"Sandal jepit menjadi tidak berarti, apabila salah satu dari mereka hilang. Dan jika kau hilang, aku tidak berarti. Bukankah sama?"

Cherri lagi-lagi menunduk setelah memperhatikan untaian kata yang keluar dari mulut Bisma. Semburat merah nyata terlihat di pipi sang gadis manis 18 tahun tersebut. "Maaf ya..." ucapnya masih menunduk.

"Untuk apa?"

"Aku kira, kau hanya menganggapku tak berarti."

"Tidak apa."

@@@@@@

-- Cherri POV --

Aku sangat percaya bahwa Bisma mencintaiku. Aku percaya kata-kata manisnya hanya untukku. Aku percaya senyum tulusnya di peruntunkan padaku. Bahkan aku sangat percaya, bila aku telah memiliki hati Bisma sepenuhnya.


Namun...
Kehancuran itu tiba saat ini,
Saat ku melihatnya berjabat tangan dengan seorang penghulu, mengucap janji suci di samping seorang wanita. Wanita berparas cantik, dengan gaun anggun yang dikenakan selaras dengan tubuh mungilnya. Dia benar-benar bidadari.


Ingin aku memberontak, tetapi mulutku terkunci bisu. Kini, hanya untaian senyum, doa, serta kata 'selamat' kemunafikan yang kutunjukkan. Aku tak mampu melihatnya. Sungguh.

"Selamat," hanya itu yang ku ucapkan seusai ijab qobul, kemudian pergi meninggalkan mereka.

@@@@@@

___Bisma POV___

Aku mengerti perasaan dia. Aku yakin, sebenarnya ia ingin menjerit kesakitan. Namun apa yang bisa ku perbuat? Maafkan aku, Cherri, maafkan aku....

"Selamat," aku tahu ada lirih di balik satu kata itu. Meskipun dia sama sekali tak menatapku saat mengucapnya, tetapi di nada suara itu ia bergetar, aku tahu ia menahan tangis, tangis karenaku.

"Bis, maafkan aku..." ku dengar sayup-sayup suara orang di sebelahku mengatakannya.

"Untuk apa?"

"Untuk hubungan kalian."

Ahhhh... Entah mengapa, organ-organ dalam tubuhku seakan berhenti saat kedatangan Cherry tadi.

@@@@@@@

___Author POV___


Bandung, 04 Februari, 10pm

"Maafkan aku merusak hubungan kalian. Ini perjodohan orang tuaku sejak dulu, Cher, maafkan aku..." Franda menangis memeluk Cherri. Cherri tetap tak merespon. "Peluk aku jika kau memaafkanku." sambungnya.


"Berhenti." Cherri menjawab pelan, bahkan nyaris tak terdengar. Franda tak mengubris, ia tetap menangis memeluk Cherri.

Aku dan kamu bagai sepasang sandal jepit.

"Fran, berhenti kubilang."

Aku hanya merasa, aku tidak berguna tanpamu. Dan aku pun ingin kau merasakan hal yang sama.

"Berhenti, Fran!"

Sandal jepit menjadi tidak berarti, apabila salah satu dari mereka hilang. Dan jika kau hilang, aku tidak berarti.

"Franda! Cukup!!" Cherri dengan kasar melepas pelukannya. Ia menjambak rambutnya kuat, berusaha mengurangi rasa sakit hati yang ia rasakan.
"PERGI!!!"

Entah...
Bayangan Bisma,
Kata-kata Bisma,
Semua tiba-tiba terngiang dan berputar begitu saja di ingatannya. Sebuah untaian kisah masa lalunya bersama Bisma, merupakan kenangan terindah yang pernah ia miliki.

Cherri mengedarkan pandangannya ke seluruh sudut ruangan. Ia mencari sosok yang baru saja di usirnya. 'Tak ada' pekiknya dalam hati.

"Cher..." Cherri menggerakkan matanya untuk melihat sang empunya suara. Ia memang sangat kenal dengan suara itu. Namun, ia tak yakin bila itu memang yang di maksud. Matanya terpengangah ketika melihat sang pujaan hatinya tengah berdiri di ambang pintu.
"Bib-bisma?"

"Maafkan aku..." hanya itu, kemudian berjalan memeluk Cherri dan menangis. Tak biasanya ia seperti itu, tak biasanya ia menangiskarena urusan percintaannya. Tak biasanya ia menangis di depan wanita yang sangat di cintainya itu.

"Maafkan aku, Cher. Tempat mu, memiliki ruang sendiri di hatiku."

"Apa gunanya bila aku juga tak dapat memilikimu. Tempat itu akan sia-sia."

"Enggak, Cher."

"Aku akan berusaha menerima. Inilah keputusan orang tua kalian. Mulailah mencintai Franda, dan melupakanku. Anggap dia pengganti sebelah sandal jepitmu yang hilang."

"Aku gak akan bisa."

"Kamu pasti bisa. Aku akan pergi jauh dari sini. Entah kemana. Yang pasti, satu pesanku, jaga sahabatku yang bodoh itu."
Cherri melepas pelukan Bisma, kemudian berlari entah kemana.

@@@@@@@@@

Bandung, 07 Februari

"Seorang wanita, di temukan tewas terapung di sungai. Diperkirakan, sudah lebih dari 2 ia berada di sungai itu,"

Deg!!!

Entah mengapa, jantung Bisma seketika berhenti berdetak. Ia begitu yakin bahwa Cherri adalah wanita itu. Dengan langkah gontai, Bisma menuju mobilnya mendekat ke sungai yang di maksud. Di jalankan mobil BMW merah itu dengan sangat cepat.

"Seharusnya aku tetap jaga kamu, Cher. Dan gak seharusnya aku mendengar ucapan orang tua aku buat nikahin sahabat kamu. Aku emang bodoh! Jangan tinggalin aku, sayang. Please." Tak hentinya Bisma mengumpat dan mencaci dirinya sendiri di mobil.

"CHERRI!!!" Teriakan Bisma memekakan telinga kerumunan orang di sekitarnya. Bisma benar-benar melihat Cherri di hadapannya. Tebujur kaku dengan pakaian compang-camping. Di peluknya Cherri hingga bajunya di penuhi lumpur yang tertempel pada pakaian Cherri. "Bangun, kumohon..."
"CHERRI!"

@@@@@@@

1 bulan kemudian.

"Apa kamu menyesal menikah denganku, Bis."

"Gak, Fran. Tidur yah, sudah malam."

Jaga sahabatku yang bodoh itu.

Bisma membalikkan tubuhnya, hingga tidur miring menghadap Franda.

"Fran, kamu tahu, aku ingin menjadikan kamu sebagai salah satu sepatuku?"

"Sepasang? Sepatumu?"

"Tidak! Hanya sebelah."

"Sebelah?"

"Karena sebelah lagi milikku. Kita tak akan berarti apa-apa jika salah satu antara kita hilang. Oleh sebab itu, jangan pergi dariku. Karena aku, tidak berarti tanpamu."

'Kau dengar itu, Cher? Aku katakan padanya sepatu, bukan sandal. Kau benar, sandal itu mudah putus. Hingga aku juga takut, aku mudah putus asa dalam mencoba mencintai Franda.' lirih Bisma dalam hati.



Vena Annisa
(@Vhenna_vhen)



- Maafkan Aku -

Sejak ia pergi dari hidupku….
Kumerasa sepi… Dia tinggalkan ku sendiri disini…
Tanpa satu yang pasti…
Aku tak tau harus bagaimana…
Aku merasa tiada berkawan
Selain dirimu… selain cintamu…

Itulah yang ku rasakan sekarang ini, rasa sepi terus menghantui hidupku, semenjak Dicky pergi meninggalkan ku untuk selamanya. Setelah hari itu aku menjalani hidupku dengan senyum terpaksa. Semua hal yang dianggap orang menyenangkan bagiku itu menyedihkan, namun semua itu kini telah berubah, kini hidupku penuh dengan senyuman, dia adalah Bisma, dia adalah satu-satunya pria yang dapat membuat hidupku ceria, senyumnya maupun sifatnya begitu sama dengan Dicky dan berkatnyalah aku selalu merasakan Dicky di sampingku dan membuatku begitu menyayanginya tak mau jauh darinya.
Semua itu berawal dari pertemuan kami disalah satu toko buku. Hari itu aku sedang mencari-cari novel keluaran terbaru, dan dia sedang mencari komik kesayanganya.
“misi, mas…” (ucapku, ingin lewat)
“sini lo…” (ucapnya menarik tanganku)
“adudududuh…pelan-pelan mas…” (ucapku ingin melepaskan genggamannya)
“udah diem aja…duduk sini !!!” (ucapnya menyuruhku duduk di sampingnya)
“i-i-iya… ada apa ya mas ?” (tanyaku sambil duduk di sampingnya)
“temenin gue !!!” (ucapnya singkat)
“tapi mas saya---“
“Bisma…udah duduk aja…”
“emmmph…ok”
*8 bulan kemudian
Setelah kami kenal cukup lama, akhirnya Bisma menyatakan cintanya padaku. Hal itu terjadi pada saat kami pergi keluar mencari makan. Malam itu Bisma menembak ku dengan nada gugup, walau aku sudah tau dari dulu tentang perasaanya kepada ku, tapi tetap saja aku merasakan gugup yang sama seperti Bisma.
Setelah 2 tahun pacaran, Bisma tidak pernah mengajakku ke rumahnya begitupun aku. Akibatnya Bisma sempat salah paham kepada ku. Hal itu terjadi 4 bulan yang lalu. Hari itu Bisma izin kepada ku , ia ingin pergi ke Lampung untuk studytur. Selama Bisma di Lampung aku ditemani oleh saudara pria ku, namanya Rafael.
Selama itu juga Rafael menemani hari-hariku…mau di kampus ataupun di toko buku. Hari ini Bisma pulang akupun senang, tapi tidak untuk Rafael dan Bisma. Ternyata bisma sudah pulang seminggu yang lalu selama itu Bisma selalu mengikutiku kemanapun aku dan Rafael pergi.
Sampai akhirnya kesalah pahaman itu tiba. Bisma memergoki ku sedang makan berdua dengan Rafael. Tanpa pikir panjang Bisma langsung menghampiriku dan Rafael, lalu menamparnya.
“STOP…STOP…!!!” (ucapku memisahkan mereka berdua)
“oh jadi gini yang kamu lakuin di belakang aku?!!” (ucap Bisma membentakku)
“apa maksud kamu Bis ?!” (tanyaku sambil mengelus-elus pipi Rafael)
“ini…siapa cowo ini, selingkuhan kamu ?!!” (ucapnya membentakku lagi)
“dia…dia saudara aku Bis…”
“aha…saudara ya…? Maaf aku ga parcaya”
“benar ko aku saudaranya” (ucap Rafael membelaku)
“eh…diem lo ini bukan urusan lo !!!”
“Bis…dengerin dulu penjelasan aku…”
“penjelasan apa lagi sih…ini udah jelas terbukti !!!”
“eh…ini bukan maksud gue ikut campur ya…gue cuma mau bilang KALO JADI COWO JANGAN EGOIS DONK !!!” (ucap Rafael membentak Bisma)
“eh…lu JANGAN IKUT CAMPUR URUSAN GUE !!! MULAI DETIK INI KITA PUTUS !!!” (bentaknya padaku dan Rafael)
“APA BIS…?!”
“kita PUTUS!!!”
ZEP…rasanya seperti disambar petir di siang bolong, kini aku sudah tidak merasakan apa-apa lagi, rasa ini adalah rasa yang ke-2 kalinya di hidupku setelah Dicky pergi untuk selamanya. Ingin rasanya aku mengakhiri hidup ku ini dengan cara menusukan pisau cutter yang berada di tangan ku ini ke tubuh ku. Baru saja aku ingin melakukannya, tiba-tiba Rafael datang dan melepaskan cutter yang tadi ada di tanganku…
“lepasin…Raf…lepasin!!!”
“kamu gila…baru di putusin cowo kaya gitu aja kamu mau bunuh diri ?!!”
“trus aku harus gimana…aku bingung…aku frustasi !!!”
“udah kamu tenang aja ya…ada aku disini !”
“makasih Raf, kamu emang saudara aku yang paling baik !!”
#3 bulan kemudian
Sudah 3 bulan aku putus dengan Bisma, namun rasa sakit ini masih terasa dengan jelas di hati ku. Hari ini aku pergi ke Australi untuk melanjutkan kuliah ku yang tertunda dan untuk melupakan Bisma juga tentunya, sebelum pergi aku menyempatkan diri untuk berkunjung ke rumah Bisma, sekaligus ngasih sesuatu untuknya.
#rumah Bisma
Terlihat rumahnya sepi, aku takut untuk mengetuk rumahnya, jadi lebih baik ku letekkan bingkisan ini di kotak suratnya, dan berharap Bisma mengetahuinya.
#2 tahun kemudian
Walaupun sudah 2 tahun di Australi tetap saja aku tidak bisa membuang rasa sayang dan cintaku terhadap Bisma. Sore itu aku iseng-iseng datang ketempat rahasiaku dan Bisma, disana terdapat kotak khusus. Saat kulihat kotak surat itu penuh dengan surat dan sebagainya. Ternyata isinya adalah surat permohonan maaf Bisma kepadaku.
#isi surat
“maafin aku atas semua ke egoisan aku ke kamu…aku udah gak mau dengerin semua penjelasan dari kamu, sekarang aku nyesel…aku kira kamu memacariku hanya untuk pelampiasan saja, ternyata aku salah…kamu menyayangiku dengan setulus hatimu…maafin aku ya…”
(tiba-tiba terdengar suara nyanyian merdu seorang pria)
“berat ku rasa hari ini
masih terdengar di telingaku semua kata
tersadar ku tlah sakiti hatimu
meski bukan maksudku tuk lukai perasaan
kasih maafkanlah aku dan jangan kau membisu
karna kesalahanku, keegoanku
berikanku kesempatan tuk perbaiki semua
karna ku hanya ingin membuatmu bahagia … maafin aku ya…”
“(aku kaget dan langsung membalikkan badan ku) BISMA ???”
“MAAF….” (hanya itu yang ku dengar dr mulutnya)
“gak papa lagi, aku udah maafin kamu dari dulu kok”
“makasih…oya, aku kangen sama kamu…”
“ummph…aku juga, aku kangen sama senyum kamu, bis…”
“ummph…ada yang mau aku omongin”
“ngomong aja…”
“kamu mau ga jadi pacar aku lagi….aku janji ga akan egois lagi !!!”
“…….” (menganggukan kepala)
"makasih ya, ummph….imut banget sih !!!” (mencubit pipiku)
“iiiih…sakit tau !!!”(ngelus-elus pipiku yang memerah akibat cubitan dari Bisma tadi)
THE END…


Indah
(@iindaaahhh)




- Unforgettable Memory -

Author : @sherly1819
Cast : Sherly, Kosta Rio(s9b), chris (s9b) & Denanda
Length : one shoot

Sherly POV
Aku menenggak jus apel yang sedari tadi setia menunggu di kulkas. Aku berjalan menuju kamarku sambil membawa gelas berisi jus apel. Sesampainya di kamarku aku langsung merebahkan diri di ranjang dan meletakkan gelas di meja rias. Aku mengambil novel yang belum selesai kubaca dan mulai membacanya.

Tiba-tiba angin dingin menyeruak masuk ke kamarku. Aku menoleh kearah jendela. Tertutup. Jendelaku tertutup. Angin dari mana ini? Aku meneruskan membaca. Mungkin hanya perasaanku saja.

“siapa kau?”

Aku terlonjak kaget dan berbalik. Berdiri seorang lelaki didekat meja riasku. “siapa kau? Kenapa kau bisa disini?” tanyaku sedikit gugup.

“aku tak tau…” katanya. Sepertinya dia jujur.

Siapa dia? Aku tak pernah melihatnya. Kenapa dia bisa masuk kamarku?

“siapa namamu?” tanyaku sambil berusaha menenangkan diri.

Dia menggeleng lemah. Apa? Dia bahkan tak tahu namanya?

“tempat tinggalmu?” tanyaku lagi.

Dia kembali menggeleng. Aiish jangan-jangan dia masuk karena denanda? Aku segera menarik tangannya keluar kamar. Tangannya dingin. Dia mengikutiku menuju kamar denanda, kakakku.

Aku perlahan membuka pintu kamar denanda. Saat kubuka pintu. Kulihat denanda menangis di ranjangnya. Aku menghampirinya. Sedangkan lelaki itu tetap berdiri di ambang pintu.

“Kakak…kau kenapa?” tanyaku sambil duduk disampingnya.

“Rio…dia kecelakaan…sekarang keadaannya kritis!” Denanda menjelaskan dengan terbata-bata. Rio adalah pacar kakakku. Aku tak pernah bertemu dengannya.

Aku memeluk tubuh kakakku. “doakan saja dia membaik…”

“terimakasih Sherly…” katanya sambil tersenyum.

“oh iya kakak! Apakah kau membawa seseorang masuk kedalam?” tanyaku setelah denanda sedikit tenang.

“siapa?”

“uuhhm itu lelaki yang sedang berdiri di ambang pintumu…” kataku sambil menunjuk kearah ambang pintu.

Denanda mengernyitkan dahi. “Sherly…tak ada siapapun di ambang pintu…”

Apa? Tidakkah Denanda melihat lelaki itu berdiri dengan ekspresi bingung? Aku menatap penuh Tanya kearah lelaki itu. Lelaki itu menggeleng pelan.

“baiklah kak..sebaiknya kakak tidur saja…” kataku sambil berdiri dan keluar kamar.

“siapa kau sebenarnya?” tanyaku setelah menutup pintu kamar denanda.

“sudah kubilang aku tak ingat apapun! Aku tiba-tiba saja bisa muncul dikamarmu!” kata lelaki itu.

“baiklah…lalu kenapa kau tak pergi sekarang?” tanyaku.

“aku tak tau harus kemana…” katanya. “karena itu aku akan tinggal disini sampai menemukan siapa aku sebenarnya…” sambungnya lagi.

“apa? Kenapa harus disini?” tanyaku.

“karena kau bisa melihatku! Kakakmu saja tak bisa melihatku…”

“tapi…”

“ayolah, Sher…” ia memohon.

“baiklah…sebelumnya aku harus memberimu nama…”

“terserah kau saja…”

“Leo! Aku akan memanggilmu Leo!”

“kenapa Leo?”

“entahlah…aku suka nama itu…” aku juga tak tau kenapa harus ‘Leo.

“baiklah…sekarang kau harus tidur…bukankah besok kau kuliah?” katanya.

“memang…” kataku lalu berjalan ke kamarku dan menutup pintu.


<<<***>>>


“Sherly! bangun!” uggh pasti itu suara leo. Aku menggeliat sedikit lalu menarik selimutku hingga ke ujung kepala. Tiba-tiba sebuah tangan dingin memegang pipiku. Aku terlonjak kaget.

“tanganmu dingin!” kataku sambil turun dari ranjang.

“berguna untuk membangunkanmu!” kata Leo sambil tertawa.

“kenapa kau bisa menyentuhku?” tanyaku bingung. Yaah leo kan hantu…dia bisa menembus tembok tapi bisa menyentuhku. Bukankah itu aneh?

“aku tak tau…aku juga bisa memelukmu…” katanya lalu memelukku. Dingin. Badannya dingin. Tanpa kusadari pipiku memanas.

Aku melepaskan pelukannya lalu berjalan menuju kamar mandi tanpa berkata apa-apa lagi.


<<<***>>>


Leo mondar-mandir di kamar Sherly, sementara sherly mandi. Pikirannya kacau. Kenapa dia disini? Apakah dia benar-benar hantu? Lalu kenapa dirumah ini? Dan namanya. Leo tersenyum. Sherly memberinya nama itu. Entah kenapa dia senang ketika di sisi Sherly padahal mereka baru kenal kemarin.
Satu hal lagi yang sedikit aneh menurut leo. Leo merasa dia sangat mengenal denanda, Kakak Sherly.


<<<***>>>


Haaah akhirnya kuliah hari ini selesai juga. Setidaknya aku tidak diganggu lagi oleh leo. Tadi dia menggangguku dengan cara menjatuhkan tasku. Lalu dia mengganggu dosen dengan menarik wig dosen yang ternyata botak itu. Setelah itu dia tertawa tebahak-bahak.

“kau juga senang kan Sher?” tanyanya sambil tetap tertawa.

“ya…untung saja mereka tak melihatmu!”

“kalau mereka melihatku aku tak akan melakukannya, bodoh!”

“apa? Kau bilang aku bodoh!” Jeritku. Aku menjerit! Kulihat beberapa mahasiswa menatap heran kearahku. Mungkin mereka menganggapku gila. Aku segera berlari. Leo tetap mengikutiku.

BUUKH

“aawww” tubuhku terpental. Aku menabrak seseorang.

“kau tak apa?”

Aku mendongak melihat siapa yang kutabrak. Chris. Yaah dia satu angkatan denganku. Dia membantuku berdiri.

“Makasih…” aku berterima kasih kepadanya.

“kau... Sherly kan?” tanyanya. Wow…dia mengenalku! Chris seorang cowo yang di idam-idamkan cewe satu universitas mengenalku! Wajar saja aku sedikit senang.

“kau mengenalku?” tanyaku.

Dia mengangguk. “kau mau pulang?”

Aku balas mengangguk.

“kalau begitu biar aku antar!” katanya sambil menarik tanganku. Pasti pipiku merah sekarang. Aku tak bisa menolak ajakannya.

Chris mengantarku dengan mobilnya. Sesampainya didepan rumahku aku turun.

“Thanks chris…” kataku sambil tersenyum.

Chris balas tersenyum. “aku senang bisa melihatmu tersenyum..”

Aku terdiam. Lalu masuk kedalam rumah.
“kau senang?” Leo bertanya begitu aku menutup pintu.Aku tersenyum lalu mengangguk. “ aku sangat senang hari ini!”

Leo hanya tersenyum hambar. Kenapa dia? Ahh biarlah…mungkin dia punya masalah sendiri.


<<<***>>>


Satu bulan telah berlalu. Leo belum juga menemukan siapa dirinya. Sementara aku merasakan sesuatu yang berbeda. Perasaanku terhadap leo. Aku meyakinkan diriku bahwa perasaan ini adalah perasaan sayang karena leo selalu disampingku. Selalu mendengar ceritaku. Selalu menghiburku.

“Sherly! Rio akan di operasi!” tiba-tiba denanda keluar dari kamarnya dengan berlinang air mata.

“apa? Kenapa?” tanyaku bingung. Sudah satu bulan ini juga rio, pacar kakakku kritis.

“ayo ikut aku!” katanya sambil menarik tanganku. Aku hanya mengikutinya.


<<<***>>>


Sesampainya di rumah sakit aku dan denanda segera ke kamar operasi. Denanda memaksa masuk tapi tidak diizinkan oleh salah satu perawat. Sekarang denanda hanya menangis di depan pintu kamar operasi.

“seberapa parah dia?” Tanya leo.

“aku tak tau…bahkan aku tak tau bagaimana rupa rio!” kataku.

Tiba-tiba pintu kamar operasi terbuka. Aku melihat beberapa perawat membawa sesosok tubuh yang terbaring lemah keluar. Dia Rio. Kakakku berdiri di sampingnya. Menangis.

Aku melihat wajah rio. Seketika itu pula seluruh darahku membeku. Aku menatap leo yang menatapku penuh arti. Tanpa sadar airmata mengalir di pipiku. Sementara rio dimasukkan ke ruang ICU.Aku terduduk. Airmata mengalir deras dipipiku. Leo. Yang selama satu bulan belakangan ini selalu disampingku. Selalu menghiburku ternyata adalah Rio, pacar kakakku. Aku merasakan leo memelukku. Aku mendongak menatapnya. “kau adalah rio…” gumamku. Dia mengangguk.

“I love you…” bisiknya lirih. Leo atau lebih tepatnya jiwa rio, pacar kakakku. Megatakan bahwa ia mencintaiku. Airmataku semakin deras mengalir. Perlahan aku merasakan leo menghilang. Tangan dinginnya tak lagi menggenggam tanganku. Dia tak lagi memelukku.

“I love you too…” bisikku lirih. Aku mencintainya. Aku tak bisa lagi membohongi perasaanku. Aku mencintai rio yang tragisnya adalah pacar kakakku.

Aku mencoba berdiri dan menghapiri kakakku. Ketika aku sampai dikamar rio. Aku melihatnya telah sadar.

“dia adikku, sherly…” kata kakakku pada rio. Aku hanya tersenyum hambar. Ingatkah ia akan kenangan jiwanya?

“ternyata dia Sherly…hello sherly ^^…” kata rio sambil tersenyum. Senyum yang selama ini menenangkanku. Jelas sudah. Dia tak ingat.

“aku senang kau sudah membaik…” kataku sedikit tercekat. “Leo…” gumamku tanpa sadar. Kakakku tak mendengar namun rio mendengar dia mengernyitkan dahi bingung.


<<<***>>>


Sherly POVAku melihat kakakku tersenyum bahagia diatas panggung itu. Bersama Rio. Hari ini adalah hari pertunangan denanda dan rio. Mereka tampak bahagia. Tak hentinya bibir mereka menyunggikan senyum.

Melihat mereka bahagia seakan membuka luka lamaku. Jujur saja hatiku sakit saat melihat orang yang kucintai tersenyum bahagia dihari pertunangannya bersama perempuan lain yang tragisnya adalah kakak kandungku.Aku mencoba tersenyum. Aku akan mencoba menghapus cintaku pada rio. Tapi aku tak akan melupakan kenanganku dengannya. Aku akan mencoba menata kembali hidupku dengan kenangan itu sebagai penguatku.

“kapan kita akan seperti mereka?” Tanya chris sembari merapatkan tubuhku ke tubuhnya.

Aku tersenyum. “saat kita yakin…” jawabku.

“kau benar…” kata chris sambil tersenyum manis.

Yaah…aku juga akan belajar mencintai chris yang sekarang resmi menjadi pacarku.

Semoga rio bahagia…sesederhana itu keinginanku.


<<<***>>>


Sherly
(@sherly1819)



- CATATAN BUAT SUPER9BOYS -

“Pokoknya gag usah ya! Gag ada yang namanya ikut-ikutan ngumpul-ngumpul gag jelas dengan mereka, Ngapain coba? ngabisin duit aja, lagian buat apa kamu mati-matian ngefans sama Boyband Indo yg
super alay itu?? Helloww, kamu banyak istirahat saja npa!!” Seru ka Fitri sambil menatapku geram. Akupun hanya terdiam membisu, ingin

Rasanya jiwaku terbang melayang jauh meninggalkan kakakku yang super cerewet ini, “kapan sih, ka fitri berhenti ngomel, udah mau sejam aku berdiri sambil dengerin kak fitri ngomell!” jeritku dalam hati. 

Tanpa sadar akupun hanyut dalam lamunan yang telah menerawang jauh, dimana aku dengan gaun merah indah menari di taman bunga yg di tumbuhi sejuta mawar indah merekah di temani oleh 9 pangeran tampan super squad yang tengah melantunkan lagunya Suka sama suka untukku, duuhh, romantisnya, serasa dunia ini hanya milik berdua, ups, salah! Bersepuluh, maksudnya, yang lain ngontrak aja deh, hakz! Tpi, kasian mamah, papah, adikku juga, tapi kakakku yg satu ini gag usah, biarin aja dia ngontrak di planet mars, habisnya cerewet sih, hihihi kasian.. hhmm
Pokoknya, dunia serasa hanya milik aku, mamah, papah, adik, dan juga super Squadku tercinta.

Tiba-tiba.. “heh bocah, senyam senyum aja, durhaka yah! Kakaknya lagi ngomong malah asyik dengan dunianya sendiri, dasar bocah settrreess!!!” Akupun kaget tersadar dari lamunan indahku, namun sunggingan senyum masih tersisa di bibir manisku (yuuuhhuu manis niye)
“payah, si kakak ganggu aja nih, padahal kan lagi seru-serunya, lagi romantis-romantisnya” pikirku dalam hati. “ya udah sana, masuk kamar!” seru ka fitri “yeeaahh, bebas!!!” teriakku dengan suara melengking bak terompet yang siap memekakkan telinga, kak fitripun kaget bukan kepalang, ups.. sebelum kena semprot, Kabuuuurrrr,,, akupun segera berlari meniggalkan ka fitri. Ka fitri hanya sempat
menggeleng-gelengkan kepala seraya bergumam “Dasar Bocah Setrreesss!”

Hello readers, nama aku Faradilla Cantika, orang-orang biasa manggil aku Cantika jadi panggil aku cantika juga yah, sama dengan wajah aku yang Cantik, Imoet, dan manis, maklumlah, keturunan arab indo *pasang wajah semanis mungkin* (wahh, KePeDean Atuhh neng hihihi) aku ngefans banget sama Super 9 Boys, apapun akan kulakukan demi Super 9 boys tercinta, tapi sayang kakakku gag setuju banget aku ngefans sama super 9 boys, katanya norak lah, alay lah, gag pentinglah, inilah, itulah, capek aku dengarnya! Fiuuhh *usap peluh di dahi* tapi walaupun di tentang namun jiwaku maju tak gentar melawan para penentang! (Hihihi kayak pejuang aja neng). Ups, kepanjangan kali perkenalannya, next

Cerita

“cantika.. can... cantika.. sarapan dulu, di tungguin tuh sama papa mama”, “iya.. iya.. bentar lagi!” jawabku kearah panggilan di balik

Pintu kamar.

5 menit kemudian... “Ya Tuhan, Si anak Bandel, di panggilin sarapan daritdi malah asyik maen twitter, papa mama udah mw berangkat kerja tuh!” kulihat air muka geram, kesal, tampak di wajah ka fitri. “O’ow,, peace ka” kataku sambil tersenyum semanis mungkin penuh rayu kearah ka Fitri. “gag mempan aku dengan senyummu itu, sekarang cepat simpen ipad, d tungguin sarapan! Seru ka fitri sambil berlalu pergi. “hufh, kirain ka fitri mau ngomel berseri lagi” gumamku bernafas lega sambil melangkahkan kaki menuju tempat dimana aku sekeluarga akan menyantap hidangan sarapan pagi bernutrisi buatan mama.

Teet..teeet..teet..
1 message from 9besties_Adel
Pagi Can..
Hari ini boys perform
Keep stay tune d depan TV yah ^_^
#Salam ACDC

Akupun segera beranjak dan melangkahkan kaki kecilku menuju tempat dimana aku dan keluarga kecilku melepaskan gundah menyaksikan tayangan-tayangan menarik lewat layar kaca. “ka fitri, ganti channel yah? Kakak gag nonton lagi kan?” tanyaku sedikit bernada rayuan. “mang maunya nonton apa can?” “hhhmm, itu kak, aku mau nonton konser sejuta cinta” jawabku.

“waduw, mau lihat si orang alay itu lagi ya? Gag bosen apa?” kata kak fitri dengan nada sinis. “hhmm, mana ada bosennya kak, kalo super squad yang perform” terangku. “gag ada, nonton sana d tempat lain” jawab ka fitri. Akupun tak mau nyerah gtu aja, berulang kali ku rayu dan kurayu ka fitri hingga jam menunjukkan pukul 10.30 WIB. “tuh kan kak, konsernya udah mau dimulai! Ayo dong kak?” rayuku skali lagi. “bodoh amat. pokoknya gag, udah cukup kamu rusakin TV di kamar kakak gara-gara idola kamu yang gag jelas itu! Sadar dong neng, apa mereka pernah ngasih perhatian besar ke kamu sementra kamu mati-matian ngasih perhatian ke mereka, enggak pernah kan? Mereka gag pernah peduli sama kamu, terutama sama kondisi kamu yamg makin parah Cuma gara-gara mereka, tahu kamu siapa juga enggak!” seru ka fitri. Akupun terdiam membisu, tanpa sadar kata-kata ka fitri telah menusuk sukmaku, menyentuh bagian hati yang paling sensitif sehingga membuat butiran-butiran air mata tak mampu lagi di tampung oleh kedua kelopak mata, tumpah ruah membasahi pipi.

Akupun segera bergegas meraih kunci mobil di atas meja kerja papa.
“mau kemana can?” “cantika kerumah Adel dulu ya ma!” jawabku kepada

Wanita separuh baya yang berdiri tepat di hadapanku sambil berlalu pergi. Wanita yang ku sebut sebagai mama itu hanya bisa terdiam dan menataku penuh tanda tanya.

Mobilpun melaju meyusuri keramain kota dengan kecepatan yang cukup membuat semua pengguna jalan was was. Bak mas komeng melesat membuat para pejalan kaki acak-acakan. Hihihi “ya tuhan, mudah-mudahan performnya belom selesai, sempatkan aku! Ayo dong..” gumamku.

Teett..teet... teeett
1 message from 9besties_Adel
Kamu dimana can? Jadikan ke rumah aku?
Udah mw segmen 5 nie,, bentar lagi boys perform dengan singel favorite
kamu SSS, buruaann.
#salam ACDC



Jantungku terasa berdegup kencang, ada sesuatu yang luar biasa kurasakan, semakin bergetar hebat, semakin khawatir kalo nantinya gag bakal sempat lihat perform boys. Fikiran dan konsentrasiku terfokus pada bayang-bayang message dari Adel, akhirnya Kucoba membalasnya sesegera mungkin untuk mengobati rasa cemasku, Namun apa yang terjadi, tiba-tiba di depan tampak sebuah mobil truk melaju tepat searah denganku, kupalingkan stir mobil namun sebuah pohon menanti keberadaanku dan aaaaagggggrrrhhhh.... Brruukk!! Sontak sakit yang terasa hebat memenuhi ruang di kepalaku , menembus alam bawah sadar sehingga aku tak tahu lagi apa yang terjadi selanjutnya.


“Apa yang terjadi? Mau kemana mereka?” pikirku, ditengah kerumunan berjuta manusia yang terus melangkah maju mengikuti seberkas cahaya, walau daya piikirku kalut akan beribu tanda tanya namun kaki kecilku tetap melangkah maju di tengah berjuta manusia. Tiba-tiba, “cucuku..” langkahku terhenti, kupalingkan tubuh, kudapati sosok wanita bertubuh kurus, keriput menghiasi wajah yang tersenyum manis kearahku.

“nenek!!!” panggilku. Ingin rasanya kuraih dan kupeluk erat tubuhmya namun ada sesutu yang terasa membebani langkahku sehingga aku hanya bisa terdiam membisu. “belum waktunya kau ikut cucuku”. Ucap wanita tua yang ku panggil nenek itu. Bingung, resah, gelisah, bercampur memenuhi ruang di jiwaku, “apa yang terjadi? Tidak..aku tak tahu ini dimana, aku tak tahu apa yang harus kulakukan, aku mau ikut nenek!!!” teriakku sesaat setelah nenek pergi meningglkanku.

Tiba-tiba ada sesuatu yang medorong kedua kelopak mata ini terbuka secara berlahan, ingin rasanya kubangkit, namun beban sakit yang menindih sekujur tubuhku membuatku tak mampu untuk beranjak dari posisi sabelumnya. Kutengok sekeliling, tampak seorang wanita paruh baya duduk disamping ranjang tempatku terbaring lesu. “anakku!! Kamu sadar nak!” ucap lirih wanita itu sambil meneteskan butiran-butran airmata. Yah wanita itu adalah wanita yang kerap ku panggil mama. “ma, cantika ketemu nenek! Cantika ingin ikut nenek!!” seruku seketika. 
“cantika! Nenek udah gag ada nak, itu hanya mimpi kamu, kamu gag boleh ikut nenek, kamu gag boleh tinggalin mama, kamu harus tetap disini sama mama sayang” balas mama sambil terisak. Kutatap wajah itu, wajah yang semakin dekat yang hendak memeluk tubuhku. “mama.. maafin cantika ya ma? Selama ini cantika sering nyakitin mama, cantika sering buat mama sedih, cantika janji tak akan buat mama nangis kecewa gara-gara cantika lagi!” “iya sayang, mama juga minta maaf selama ini gag bisa sepenuhnya jagain cantika”. Kata mama sambil mengusap lembut kepalaku

Tiba-tiba dari balik pintu muncul 3 sosok yang sangat kurindukan, papa, ka fitri dan arga adikku. Aku bahagia berada ditengah-tengah kebahagiaan mereka saat ini. Yahh, hanya merekalah sesuatu yang sangat berharga dalam hidupku.

“cantika sudah melewati masa kritisnya selama 6 bulan, sekarang kondisinya sudah mulai membaik, namun bukan berarti boleh pulang, cantika masih perlu pengawasan dan perawatan medis melihat kondisi penyakitnya saat ini setelah kejadian beberapa waktu lalu” kata dokter sesaat setelah memeriksa kondisi kesehatanku. “tapi aku boleh keluar sebentar kan dok?” tanyaku. “iya, cantika boleh keluar sebentar, tapi ingat, gag boleh kecapean yah, kalau urusannya dah selesai cepat balik ke rumah sakit! ok?” ssiiaaaapp om dokter!” hihi balasku sambil melemparkan senyum termanisku kearah sang dokter. “emang mau kemana can?” Tanya papa. Akupun tersenyum dan menjawab “cantika mau ngelive di salah satu acara musik pa, ma, izinin cantika pergi yah? Sekali aja, cantika janji ini yang terakhir kalinya cantika memohon”. Suasana hening sejenak, tiba-tiba “iya, tapi kamu tak sendirian ada papa, mama, arga, sam ka fitri akan nemenin kamu!” kata papa membuat ku sangat bahagia dan segera memeluk sosok papa yang sangat kusayangi itu. “makasih papa” ucapku. “iya. Sama-sama sayang, sekarang cepet siap-siap” balas papa. Akupun segera beranjak dan memersiapkan diri untuk pergi kesuatu tempat dimana aku akan bertemu dengan super squad, dengan 9 pangeran super yang selma ini kurindukan, pangeran yang selama ini mengisi setiap keindahan dalam jiwaku.

Sumpah demi apa, aku merasakan kebahagiaan yang luar biasa ketika impian terbesarku untuk bertemu dan melihat secara langsung 9 pangeran super di atas panggung.

Sesaat setelah perform ku coba melangkahkan kaki mengikuti orang-orang yang tengah berlari menghampri mereka, yah, mereka yang sangat ku sayangi, mereka 9 pangeran super yang selalu mengisi indahnya taman sejuta mawar di alam mimpiku, mereka yang selalu menjadi inspirasi, mereka yang selalu menjadi semangat hidupku. Namun sejenak langkahku terhenti, kulihat betapa tak sedikit 9besties yang juga berebut menghampiri mereka, ada sesuatu yang terasa menarik ulur niatku untuk bertemu dengan mereka, aku takut kalau saja mereka akan terganggu dengan keberadaanku, “heemmmm, apa yang terjadi dengaku” pikirku.



Tiba-tiba jantungku semakin berdegup kencang, ketika kulihat sosok yang berdiri kira-kira 3 meter dariku sedang asyik tertawa bersama beberapa 9besties, yahh, itu si pangeran Super Green, dady Kelvin Kokasih, aku memang menyebutnya sebagai pangeran Super Green, karena Dady Kelvin lah yang memiliki sedikit kemiripan denganku yaitu pencinta hijau dan kodok-kodokkan.

Tanpa sadar airmata menetes, perasaan haru dan bahagia menyelimutiku, aku bahagia walau hanya menatap mereka dari kejauhan, aku bahagia melihat senyum indah mreka, aku bahagia bisa berada dekat dengan mereka walau mereka tak pernah meyadari keberadaanku, aku bahagia karena mereka telah menjadi bahagian dari mimpi indahku. Walau aku tak punya keberanian untuk menghampiri. Larut dalam kebahagiaan, keindahan mimpi dan khayal sehingga sesuatu kembali menembus alam bawah sadarku, cukup membuatku merasa tak lagi mengetahui apa-apa.

Kurasakan usapan hangat di kepalaku, perlahan kucoba membuka kedua kelopak mata, hendak memastikan siapakah itu. Jiwaku sontak kaget, bahagia yang luar biasa kurasa ketika kudapati sosok pangeran super Green duduk dan mengusap lembut kepalaku yang tengah terbaring lesu.

Kulirik sekeliling, tampak mereka, yah, mereka yang selama ini menjadi impianku tersenyum manis kearahku. “cantika! Kamu sadar!” seru seseorang yang muncul dari arah belakang Kak Kelvin, yaah, itu ka Nico, dia tersenyum dan menghampiriku. “cantika, kamu bertahan yah, kakak yakin kamu pasti bisa melewati sakit ini, cantika kan anak yang sabar!” kata ka kostario, “iya, kalo cantika lama sembuhnya, cantika bakal lama juga gag ngeliat kerennya jambul super kakak, atau gaya rambut terbaru kakak, kriwil unyu” kata ka tyo menimpali. Akupun tersenyum, wah, si kak tyo bisa aja narsisnya. Hehe. “cantika, maksih yah, cantika adalah semangat kami, jadi cantika juga harus semangat dong, kami semua sayang cantika” ucap ka steven. Sekali lagi aku tersenyum bahagia, terharu sehingga tanpa sadar menitikkan air mata, kulihat tetesan air mata itupun juga keluar dari balik kelopak mata mereka. “udah, jangan nangis, cantika kuat!” seru ka imam seraya menghapus tetesan air mata yang jatuh membasahi pipiku. Ingin rasanya kuucapkan sesuatu kepada mereka namun bibir ini tak kuasa lagi berucap, ingin kupeluk erat mereka, namun tubuh ini tak kuat untuk di gerakkan, sakit luar biasa mulai menyerang kepalaku, nafas tak mampu lagi kuhela secara sempurna, sesak, sakit yang kurasa teramat sangat memenuhi sakujur tubuhku. Terus dan terus kursakan sehingga membuat jantungku semakin melemah, aku tak kuat lagi.
Tiba-tiba, semua sakit yang kurasa hilang seketika, akupun bangkit dari posisi terbaring, namun kulihat mereka malah makin tampak sedih, meneteskan airmata, aku bingung, kucoba sentuh tangan pasha, namun aku kaget bukan main, aku tak bisa menyentuhnya, kucoba kembali untuk menyentuh kak kelvin, kak kostario, kak, tyo, hingga seterusnya, namun aku kembali tak dapat menyentuh mereka, aku semakn tak mengerti dengan keadaanku. Kucoba menghampiri mama papa yang berlari kearahku sambil terisak. “mama, papa, cantika udah bisa bangun!” seruku. Namun nampaknya mereka tak mendengarkan seruanku, mereka terus saja berlari melwatiku, aku semakin tak mengerti, ku coba palingkan tubuhkan. “siapakah itu?” tanda tanya besar hadir di kepalaku. Kucoba dekati mereka, “oh tuhan,, ini tidak mungkin!!” Kudapati sosok yang sangat mirip denganku terbujur kaku, aku terdiam membisu menatap mereka, mereka sosok yang sangat kusayangi terisak memeluk tubuh itu, tubuh yang terbujur kaku, super Squadku, papa, mama, adik, semua tampak merasakan duka yang teramat dalam.

Bebrapa saat kemudian, muncul kak fitri dari balik pintu, mendekati super squadku, hendak menyerahkan sesuatu. “ini kutemukan dilaci meja belajar cantika” kata ka fitri. Yaaah, aku baru sadar kalau sesuatu yang d berikan ka fitri kepada super squadku adlah sebuah diary, dimana diary itu adalah tempatku mencurahkan segala unek-unek yang ada dalam pikiranku.

Kak kostario membuka lembaran demi lembaran dari diary milikku, tampak foto-foto lucu dan keren mereka menghiasi awal lembaran, namun tiba-tiba terhenti pada sebuah lembaran yang berisi tulisan.
Hello 9 pangeran superku!
Semoga kalian disana baik-baik saja, ^_^

Hari ini, entah kenapa cantika tiba-tiba merindukan kalian, cantika ingin sekali mewujudkan mimpi terindah cantika untuk bisa bertemu kalian semua. Cantika sebenarnya ingin sekali dekat dengan kalian semua yang sangat cantika sayangi. Namun cantika sadar, cantika bukan siapa-siapa, dengan melihat kalian tersenyum cantika udah seneng walau emang senyum itu bukan untuk cantika sih, hihihi. 

Super squadku, maafin cantika yah, cantika gag bisa ngelive setiap perform kalian, karena cantika tak pernah di izinin sama mama papa, terlebih kakak cantika, karena kondisi cantika yang emang gag memungkinkan, cantika agag kesel sih, kenapa harus cantika yang di pilih tuhan untuk merasakan penyakit ini, sehingga cantika gag bisa ketemu kalian, cantika sedih banget, maafin cantika yah! ^_^ 9 pangeran superku.

Di sisa akhir hidup cantika ini, cantika mau melakukan apapun untuk kalian smua, cantika ingin berbuat untuk kalian. Cantika sayang kalian, walau cantika sadar cantika gag berarti apa-apa di mta kalian, mention cantika di twitter emang selalu di cuekin, kalian emang gag kenal siapa cantika, namun cantika tetap sayang kalian, doa cantika tetap selalu untuk kalian. Walau akhirnya kanker otak ini akan merenggut nyawa cantika, jangan lupakan cantika yah?
Semangat super squadku..

Kak kostariopun menutup diary yang telah di bacanya, mereka menghampiri sosok itu. “cantika, maafin kita semua, kita semua sayang kamu” beberapa saat kemudian kak kostario mendekat dan mencium kening raga itu, disusul oleh kedelapan sahabatnya. Akupun bahagia melihat moment tersebut.
Tiba-tiba. “cantika! Sudah saatnya kamu ikut nenek!” seru wanita tua yang tiba-tiba muncul di sampingku. Akupun tersnyum kearah nenek, menggengam tangannya dan ikut, bersama menempuh perjalanan panjang mengikuti seberkas cahaya.


Pipitriyana
@pipitbesties


1 komentar:

  1. Posting Cerpen lagi dong, Admin... Apalagi cerpen yg pemeran ny Super9Boyz / S9B... Plisss... Aku tunggu ya... :D <3

    BalasHapus